Setiawan Mangando

Jumat, 13 Desember 2013

Merry Christmas 2013

Merry Christmas 2013...



Tak terasa kita telah memasuki bulan Desember bulan kelahiran Juruselamat kita Tuhan Yesus. Hal ini pertanda orang kristiani di berbagai belahan dunia menyibukkan diri mempersiapkan hari besar ini. Ibadah natal dan kegiatan dilakukan untuk memeriahkan natal. Pemasangan dan dekorasi pohon dan hiasan natal mewarnai sukacita natal tahun ini. Lagu-lagu bertemakan natal sudah terdengar dimana-mana menambah indahnya natal. 


Joy to the World , the Lord is come!
Let earth receive her King;
Let every heart prepare Him room,
And Heaven and nature sing,
And Heaven and nature sing,
And Heaven, and Heaven, and nature sing.

Joy to the World, the Savior reigns!
Let men their songs employ;
While fields and floods, rocks, hills and plains
Repeat the sounding joy,
Repeat the sounding joy,
Repeat, repeat, the sounding joy.

No more let sins and sorrows grow,
Nor thorns infest the ground;
He comes to make His blessings flow
Far as the curse is found,
Far as the curse is found,
Far as, far as, the curse is found.

He rules the world with truth and grace,
And makes the nations prove
The glories of His righteousness,
And wonders of His love,
And wonders of His love,
And wonders, wonders, of His love.

Sukacita natal sungguh terasa bagi umat kristiani di dunia. Semoga kelahiran Tuhan Yesus menjadikan kita semakin kuat dalam iman kepada Tuhan. Menyambut kelahiran Tuhan Yesus dengan penuh makna bahwa Dia datang untuk kita semua. Menyelamatkan kita dari belenggu maut. 





 Merry Christmas 2013
Happy New Year 2014

 

           .......................................................GOD BLESS..........................................................



Kamis, 12 Desember 2013

Black Molly & Molly Balon Give Birth

Akhirnya ikan hias menghasilkan keturunan juga....
 
Cerita berawal saat saya membeli ikan di salah satu pasar ikan di tempat tinggal saya dan saya memasukkan kedalam akuarium yang berukuran kecil dengan komposisi 4 ikan palty pedang, 2 ikan molly balon, dan 3 ikan black molly. Tetapi berselang beberapa hari satu per satu ikan berguguran.  Dan tersisa 3 platy, 2 molly, dan 1 black molly.
Setelah menunggu beberapa minggu. Akhirnya ikan molly balon menghasilkan keturunan berjumlah 6 ekor tepat tanggal 06 November 2103 tetapi 2 diantaranya tidak dapat bertahan. Sehingga yang tersisa hanya 4 ekor saja. Dan induk ikan tersebut mati, sehingga saya kembali membeli ikan molly balon.

Berhubung karena berbagai kesibukan penelitian di Pulau B***. Jadi perhatian untuk pemeliharan ikan hias berkurang. Akan tetapi setelah beberapa hari sewaktu pulang dari Pulau akhirnya indukan ikan molly yang baru saya beli mengikuti jejak molly balon yang telah mati menghasilkan keturunan 11 ekor tetapi yang bertahan hanya 10 ekor.  Tetapi 1 indukan ikan molly balon dan 1 indukan ikan platy pedang mati.
Malamnya itu ikan black molly juga menghasilkan keturunan 30 ekor tetapi yang bertahan hanya 11 ekor. 
Jadi jumlah ikan yang berada dalam akuarium saya terdiri dari :
Indukan : 1 black molly, 1 molly balon, dan 2 platy pedang
Anakan : 4 molly balon berumur 1 bulan
Anakan : 10 molly balon yang berumur sekitar 3 hari dan 11 black molly yang berumur 1 hari..

Semoga ikan saya tetap terjaga dengan baik
God bless my fish...



Jumat, 01 November 2013

Save Our Sharks From Marine Science UNHAS

Hiu.....

Siapa yang tidak mengenal hiu.... ??? 

Hiu adalah hewan laut yang menurut kebanyakan orang merupakan mahkluk yang menyeramkan. Hiu memiliki tubuh yang ramping dan bernafas dengan insang. 

 

Hiu 

Hiu salah satu dari bebrapa hewan laut yang dijadikan ikon dalam beberapa film. Seolah-olah hiu adalah aktor yang bersal dari lautan. Beberapa film yang dibintangi oleh hiu, diantaranya Jaws, Deep Blue Sea, Open Water, Shark Tale dan Soul Surfer. Hiu merupakan penyeimbang ekosistem karena hiu menempati tingkat tropik tertinggi di dalam ekosistem. 

 Keberadaan hiu saat ini sudah terancam. Hal ini dikarenakan perburuan hiu yang semakin marak. Salah satu negara yang memiliki tingkat perburuan hiu terbesar adalah Indonesia. Perburuan hiu dilakukan untuk mengambil sirip ikan tersebut untuk dijual.


Sirip Ikan Hiu
Perlu diketahui bahwa sebenarnya pemanfaatan hiu untuk mendapatkan keuntungan yang besar dapat dilakukan tanpa mengancam kepunahan hiu itu sendiri dan hal ini lebih menguntungkan. Hiu dapat dibiarkan hidup untuk dijadikan objek wisata bahari yang lebih menghasilkan devisa yang lebih tinggi.
 
Oleh karena itu diperlukan suatu upaya penyelamatan hiu dari tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab. Salah satu hal dapat di mulai dari langkah kecil berupa sharing dan kampanye "SAVE OUR SHARK"  seperti yang dilakukan oleh mahasiswa Universitas Hasanuddin (UNHAS) bersama volunteer dari UK-Inggris hari ini (01 November 2013) disekitaran kampus UNHAS.


Save Our Sharks
By : UNHAS IND & UK Volunteer

Hiu Jahat itu Cuman Ada Di Film
Sharks Are Friend Not Food
Stop Shark Finning
Sharks On The Sea Not On Our Plate
Say No To Shark Fin Soup


Save Our Sharks


Rabu, 30 November 2011

LAPORAN EKOLA PRAKTIKUM LAPANGAN

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dari daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan berbagai biota laut baik flora maupun fauna (Nybakken, 1988).
Padang lamun merupakan ekosistem yang sangat tinggi produktifitas organiknya. Di daerah ini hidup bermacam-macam biota laut seperti Crustacea, Mollusca, cacing dan juga ikan.Ada yang hidup menetap dipadang lamun ada pula pengunjung setia. Beberapa jenis ikan misalnya berkunjung ke padang lamun untuk mencari makan atau memijah. Beberapa jenis biota lain yaitu, Duyung (Dugong dugong) yang merupakan mamalia laut yang makanannya adalah lamun terutama Syringodium isoetifolium (Nontji, 2002).
Secara ekologis padang lamun memiliki peranan penting bagi ekosistem. Lamun merupakan sumber pakan bagi invertebrata dan makanan tersuspensi pada kolom air. Lamun merupakan produktifitas primer di perairan dangkal di seluruh dunia dan merupakan sumber makanan penting bagi banyak organisme. Padang lamun merupakan ekosistem yang tinggi produktifitas organiknya, dengan keanekaragaman biota yang cukup tinggi. Pada ekosistem ini hidup beraneka ragam biota laut seperti ikan, Crustacea, Mollusca (Pinna sp., Lambis sp., Strombus sp.), Echinodermata (Holothuria sp., Synapta sp., Diadema sp., Arcbaster sp., Linckia sp.) dan cacing (Polichaeta) (Bengen, 2001).
Mengingat pentingnya fungsi lamun terhadap keberadaan organisme invertebrata seperti bintang laut, maka praktik lapang ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh kerapatan dan penutupan lamun terhadap keberadaan bintang laut yang berasosiasi dengan lamun di pulau Barrang Lompo Makassar.
1.2 Tujuan dan Kegunaan
Praktik lapang ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kerapatan dan penutupan lamun terhadap kelimpahan invertebrata yang berasosiasi dengan padang lamun. Kegunaan praktik lapang ini adalah untuk memahami cara perhitungan kerapatan dan penutupan lamun serta kelimpahan invertebrata. Diharapakan pula mahasiswa memahami hubungan timbal balik antar organisme serta antar organisme dan lingkungannya yang berlangsung dalam ekosistem padang lamun.
1.3 Ruang Lingkup
Ruang lingkup praktik lapang ini mencakup pengukuran kerapatan lamun, penutupan lamun, dan identifikasi invertebrata, serta perhitungan kelimpahan invertebrata yang berada di padang lamun. Pengukuran parameter lingkungan seperti salinitas, suhu, dan kecepatan arus sebagai faktor pendukung.

II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Lamun
Lamun merupakan bentangan tumbuhan berbiji tunggal (monokotil) dari kelas Angiospermae. Lamun adalah tumbuhan air yang berbunga (Spermatophyta) yang hidup dan tumbuh terbenam di lingkungan laut, berpembuluh, berdaun, berimpang, dan berakar. Keberadaan bunga dan buah ini adalah faktor utama yang membedakan lamun dengan jenis tumbuhan lainnya yang hidup terbenam dalam laut lainnya, seperti rumput laut (seaweed). Hamparan lamun sebagai ekosistem utama pada suatu kawasan pesisir disebut sebagai padang lamun (seagrass bed). Secara struktural lamun memiliki batang yang terbenam didalam tanah, disebut rhizoma atau rimpang. Rimpang dan akar lamun terbenam di dalam substrat yang membuat tumbuhan lamun dapat berdiri cukup kuat menghadapi ombak dan arus ( (Menez, et al. 1998).
Lamun memiliki dua bentuk pembungaan, yakni monoecious (dimana bunga jantan dan betina berada pada satu individu) dan dioecious (dimana jantan dan betina berada pada individu yang berbeda). Penyerbukan terjadi melalui media air (penyerbukan hydrophyllous). Ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem di laut dangkal yang paling produktif (Azkab,1999).
Ciri ekologis antara lain, yaitu terdapat di perairan pantai yang landai, di dataran lumpur/pasir untukmengokohan perakarannya, hidup pada batas terendah daerah pasang surut agar suplai air dan nutrisi bias terpenuhi serta dekat hutan bakau atau di dataran terumbu karang, hidup di perairan tenang dan terlindungi, mampu melakukan proses metabolisme secara optimal jika keseluruhan tubuhnya terbenam air, mampu hidup di media air asin, mempunyai sistem perakaran yang berkembang baik. Lamun mempunyai peran penting ditinjau dari beberapa aspek diantaranya yaitu padang lamun memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Indonesia diperkirakan memiliki 13 jenis lamun. Selain itu padang lamun juga merupakan habitat penting untuk berbagai jenis hewan laut, seperti: ikan, Mollusca, Crustacea, Echinodermata, penyu, dugong, lamun dapat membantumempertahankan kualitas air, lamun dapat mengurangi dampak gelombang pada pantai sehingga dapat membantu menstabilkan garis pantai. Serta memberikan perlindungan pada biota disekitarnya, padang lamun merupakan ekosistem yang tinggi produktifitas organiknya, dengan keanekaragaman biota yang cukup tinggi. Pada ekosistem ini, hidup beraneka ragam biota laut seperti ikan, Pinna sp., Lambis sp., Strombus sp.,Holothuria sp., Synapta sp., Diadema sp., Arcbaster sp., Linckia sp.) dan cacing ( Polichaeta) (Bengen, 2001).
Lamun merupakan sumber pakan bagi invertebrata (feeding Ground), tempat tinggal dan tempat asuhan biota perairan agar tidak tersapu arus laut (nursery ground), serta tempat memijah (spawning ground) melindunginya dari serangan predator. Lamun juga menyokong rantai makanan dan penting dalam proses siklus nutrien serta sebagai pelindung pantai dari ancaman erosi ataupun abrasi (Romimohtarto dan Juwana, 1999).
2.2 Morfologi Lamun
Gambar 1. Morfologi lamun
Daun
Seperti pada monokotil lainnya, daun-daunnya diproduksi dari meristem dasar yang terletak di bagian atas rhizoma dan pada rantingnya. Hal yang unik pada daun lamun adalah dengan tidak adanya stomata dan terlihatnya kutikula yang tipis. Kutikula berfungsi untuk menyerap zat hara, walaupun jumlahnya lebih sedikit dari yang diserap oleh akar dan batangnya (Tomascik,1997).
Akar
Akarnya muncul dari permukaan yang lebih rendah daripada rhizoma dan menunjukkan sejumlah adaptasi tertentu pada lingkungan perairan (Tomascik et al. 1997). Struktur perakarannya memiliki perbedaan antara satu dan lainnya. Pada beberapa spesies memiliki akar yang lemah, berambut dan memiliki struktur diameter yang kecil. Sedangkan pada spesies lainnya akarnya ada yang kuat dan berkayu. Fungsi akar lamun adalah untuk mengabsorbsi nutrien dari kolom air dan bertindak sebagai penyimpanan untuk fotosintesa (Tomascik, 1997).
Rhizoma dan Batang
Struktur rhizoma dan batangnya sangat bervariasi di antara jenis-jenis lamun, sebagai susunan ikatan pembuluh pada stele (Den Hartog, 1970). Rhizoma bersama-sama dengan akar, menancapkan lamun pada substrat. Rhizoma biasanya terkubur di bawah sedimen dan membentuk jaringan luar (Tomascik, 1997).
Jenis-Jenis Lamun
Cymodocea rotundata
Ujung daun Cymodocea rotundata halus dan licin, tulang daun 9-15, bunga tunggal dengan lembaran daun bunga, akar cenderung serabut, tanpa cabang, dengan tonjolan kecil disetiap nodus, serta daun mempunyai 7 - 17 jari. Mempunyai rimpang yang liat, berwarna coklat muda dan putih di tunasnya, berbuku-buku dengan panjang antara 11 - 35,9 mm. Akar yang muncul dari setiap ruas berjumlah 1 – 3 buah (Endarwati, H. 2010).






Gambar 1.Cymodocea rotundata
Klasifikasi :
Kingdom: Plantae
Divisi : Anthophyta
Kelas : Angiospermae
Subkelas: Monocotyledonae
Ordo: Helobiae
Famili: Cymodoceae
Genus:Cymodocea
Spesies:Cymodocea rotundata
Cymodocea serrulata
Ujung daun Cymodocea serrulata seperti gergaji, tulang daun 13-17, ujung daun bulat tumpul, tepi daun halus, leaf sheath menutupi daun secara penuh dan juga stem vertikal. Jantan dan pada individu yang berbeda. Bunga betina terbentuk berpasangan pada dasar daun; bunga jantan terbentuk dalam leaf sheath dan memanjang melebihi leaf sheath pada saat matang dan siap melepaskan benang sari.






Gambar 2.Cymodocea serrulata
Klasifikasi :
Kingdom : Plantae
Divisi : Anthophyta
Kelas : Angiospermae
Subkelas : Monocotyledonae
Ordo : Helobiae
Famili : Cymodoceae
Genus : Cymodocea
Spesies :Cymodocea serrulata
Enhalus acoroides
Panjang daun Enhalus acoroides 300-1500 mm dan lebar 13-17 mm, rimpang berdiameter lebih 10 mm dengan rambut-rambut kaku. Daunnya bercabang dua (distichous), akar tertutupi dengan jaringan hitam dengan serat-serat kasar, tepi daun menggulung ke dalam, rhizoma tebal, terdapat pada daerah pantai yang terlindung dan di esturia dan hanya terdapat di daerah tropis (Endarwati, H. 2010).

Gambar 3.Enhalus acoroides
Klasifikasi :
Kingdom: Plantae
Divisi : Anthophytha
Kelas: Angiospermae
Subkelas: Monocotyledonae
Ordo: Helobiae
Famili:Hydrocharitacea
Genus:Enhalus
Spesies:Enhalus acoroides
Halodule pinifolia
Halodule pinifolia mempunyai tulang daun lebih dari tiga, ujung daun membulat dan menyerupai gergaji, daun datar, bunga tunggal dengan lembaran daun bunga, akar cenderung serabut tanpa cabang dengan tonjolan kecil pada setiap nodus. (Endarwati, H. 2010).

Gambar 4.Halodule pinifolia

Klasifikasi :
Kingdom: Plantae
Divisi: Anthophyta
Kelas: Angiospermae
Subkelas: Monocotyledonae
Ordo: Helobiae
Famili: Cymodoceaceae
Genus: Halodule
Spesies:Halodule pinifolia


Halodule uninervis
Tulang daun tidak lebih dari 3, ujung daun seperti trisula, variasi morfologi yang sangat beragam dalam hal lebar (0,2-4 mm) dan panjang daun (5-25 cm). jantan dan betina pada individu yang berbeda, bunga terbentuk pada dasar dari leaf sheath, biasanya terkubur dalam sedimen dan hanya muncul ke permukaan substrat bila sudah matang. Biji melekat pada dasar dari shoot/rhizome selama berminggu sampai berbulan.







Gambar 5.Halodule uninervis
Klasifikasi :
Kingdom: Plantae
Divisi : Anthophyta
Kelas: Angiospermae
Subkelas: Monocotyledonae
Ordo: Helobiae
Famili: Cymodoceaceae
Genus:Halodule
Spesies:Halodule uninervis



Halophila decipiens
Daun Halophila decipiens berbentuk bulat panjang, berbentuk seperti telur atau pisau wali, pinggir daun bergerigi menyerupai gergaji, daun membujur seperti garis, biasanya panjang 50 ± 200 mm. Daunnya berpasangan, membentuk susunan seperti berbayangan atau terpisah menjadi petiole dan lembaran (Endarwati, H. 2010).


Gambar 6.Haloophila decipiens
Klasifikasi :
Kingdom: Plantae
Divisi: Anthophyta
Kelas:Angiospermae
Subkelas: Monocotyledonae
Ordo: Helobiae
Famili: Hydrocharitaceae
Genus:Halophila
Spesies:Halophila decipiens
Halophila minor
Daun Halophila minor bulat panjang, bentuk seperti telur atau pisau wali, panjang daun 5-15 mm, pasangan daun dengan tegakan pendek. Memiliki daun berbentuk bulat panjang menyerupai telur, mempunyai daun 4 – 7 pasang tulang daun, pasangan daun dengan tegakan pendek, serta mempunyai panjang daun 0,5 – 1,5 cm. Dapat tumbuh di perairan dangkal dengan substrat berpasir dan berlumpur atau kadang – kadang di terumbu karang.






Gambar 7.Halophila minor
Klasifikasi :
Kingdom: Plantae
Divisi: Anthophyta
Kelas: Angiospermae
Subkelas: Monocotyledonae
Ordo : Helobiae
Famili: Hydrocharitaceae
Genus: Halophila
Spesies: Halophila minor

Halophila ovalis
Mempunyai akar rimpang yang berbuku-buku. Daun berpasangan dengan tangkai daun yang kecil. Bentuk daun bulat memanjang, elips atau bulat telur, licin, daun bulan atau bentuk taji. Tumbuhan yang berdaun kecil terdapat pada habitat yang bersubstrat keras dan pasir disepanjang batas pasang surut. Sedangkan tumbuhan yang berdaun lebar terdapat pada habitat dengan substrat yang selalu tergenang. Jenis ini merupakan jenis dengan kemampuan toleransi suhu yang tinggi, jenis ini terdapat melimpah baik didaerah tropis maupun subtropis. (Endarwati, H. 2010).

Gambar 8.Halophila ovalis
Klasifikasi :
Kingdom: Plantae
Divisi: Anthophyta
Kelas: Angiospermae
Subkelas: Monocotyledonae
Ordo: Helobiae
Famili: Hydrocharitaceae
Genus: Halophila
Spesies: Halophila ovalis

Halophila spinulosa
Daun Halophila spinulosa bulat panjang, bentuk seperti telur atau pisau, daun dengan 4-7 pasang tulang daun, daun sampai 22 pasang, tidak mempunyai tangkai daun, tangkai panjang, bunga jantan dan betina berada pada individu yang berbeda, bunga muncul dari dasar daun, pada saat matang, buah menjulur keluar dari vertikel stem, mengandung sampai 30 biji kecil (diameter sekitar 0,5 mm). tepi daun bergerigi, daun baru muncul pada ujung verikel stem dan daun lama yatuh meninggalkan scars.











Gambar 9.Halophila spinulosa
Klasifikasi :
Kingdom: Plantae
Divisi: Anthophyta
Kelas: Angiospermae
Subkelas: Monocotyledonae
Ordo: Helobiae
Famili: Hydrocharitaceae
Genus: Halophila
Spesies: Halophila spinulosa

Syringodium isoetifolium
Daun pada Syringodium isoetifolium membulat atau meruncing, bunga menyebar dan terbuka, bentuk daun tipis dan berbentuk silindris/tabung berisi rongga udara dengan bentuk ujung daun yang agak meruncing, jantan dan betina pada individu yang berbeda,bunga terbentuk di sekitar stem vertikal, biji yang matang berwarna gelap dan berkulit keras yang licin, terdapat pada daerah subtidal (tergenang), coastal (pantai), dan terumbu, (Endarwati, H. 2010).


Gambar 10.Syringodium isoetifolium
Klasifikasi :
Kingdom : Plantae
Divisi : Anthophyta
Kelas: Angiospermae
Subkelas: Monocotyledonae
Ordo : Helobiae
Famili : Cymodoceae
Genus : Syringodium
Spesies : Syringodium isoetifolium

Thalassia hemprichii
Panjang daun Thalassia hemprichii antara 100-300 mm dan lebarnya 4-10 mm, daunnya bercabang dua (distichous), tidak terpisah, akar tidak tertutupi dengan jaringan hitam, serta dengan serat-serat kasar. Rimpang berdiameter 2-4 mm, tanpa rambut-rambut kaku. (Endarwati, H. 2010).

Gambar 11. Thalassia hemprichii


Klasifikasi :
Kingdom : Plantae
Divisi : Anthophyta
Kelas : Angiospermae
Subkelas : Hydrocharitaceae
Ordo : Helobiae
Famili : Hydrocharitaceae
Genus: Thalassia
Spesies: Thalassia hemprichii

Thalassodendron ciliatum
Thalassodendron ciliatum mempunyai daun berbentuk datar, bunga tunggal dengan lembaran daun bunga, akar memanjang dengan cabang satu atau lebih terdapat pada setiap 4 nodus, jumlah akar 1-5 dengan tebal 0,5-2 mm dan ujung daun seperti gigi. (Endarwati, H. 2010).

Gambar 12.Thalassodendron ciliatum
Klasifikasi :
Kingdom : Plantae
Divisi :Anthophyta
Kelas : Angiospermae
Subkelas : Monocotyledonae
Ordo : Helobiae
Famili : Cymodoceaceae
Genus : Thalassodendron
Spesies : Thalassodendron ciliatum
2.4 Asosoasi Invertebrata (Pinna sp.) di Padang Lamun
Asosiasi invertebrate salah satunya adalah dari kelas Bivalvia, yaitu spesies Pinna sp. Bivalvia adalah salah satu kelompok makro invertebrata yang paling banyak diketahui berasosiasi dengan lamun di Indonesia, dan mungkin yang paling banyak dieksploitasi. Sejumlah studi tentang di subtropik telah menunjukkan bahwa bivalvia merupakan komponen yang paling penting bagi ekosistem lamun, baik pada hubungannya dengan biomassa dan peranannya pada aliran energi pada sistem lamun (Watson et al,1984).
Pinna sp. memanfaatkan padang lamun sebagai daerah asuhan untuk habitat atau tempat tinggal. Padang lamun juga melindungi Pinna sp. dari serangan predator karena Pinna sp. menancapakan cangkangnya pada substrat berpasir yang tertutupi oleh lamun sehingga tidak akan terlihat oleh predator Lamun juga menyokong rantai makanan dan penting dalam proses siklus nutrien serta sebagai pelindung pantai dari ancaman erosi ataupun abrasi (Romimohtarto dan Juwana, 1999).
2.5 Faktor Lingkungan
Parameter yang mempengaruhi kehidupan dan pertumbuhan lamun adalah sebagai berikut ;
Suhu
Suhu merupakan faktor yang amat penting bagi kehidupan organisme dilautan, karena suhu mempengaruhi aktivitas metabolisme ataupun perkembangbiakan dari organisme-organisme tersebut (Hutabarat dan Evans, 1986). Toleransi suhu dianggap sebagai faktor penting dalam menjelaskan biogeografi lamun dan suhu yang tinggi di perairan dangkal dapat juga menentukan batas kedalaman minimum untuk beberapa spesies (Larkum et al., 1989). Kisaran suhu optimal bagi spesies lamun untuk perkembangan adalah 28°C-30°C, sedangkan untuk fotosintesis lamun membutuhkan suhu optimum antara 25°C-35°C dan pada saat cahaya penuh. Pengaruh suhu bagi lamun sangat besar, suhu mempengaruhi proses-proses fisiologi yaitu fotosintesis, laju respirasi, pertumbuhan dan reproduksi. Proses-proses fisiologi tersebut akan menurun tajam apabila suhu pereairan berada diluar kisaran tersebut (Berwick, 1983).
Arus
Arus merupakan gerakan mengalir suatu masa air yang dapat disebabkan oleh tiupan angin, perbedaan densitas air laut ata dapat pula disebabkan oleh gerakan periodik jangka panjang. Arus yang disebabkan oleh gerakan periodik jangka panjang ini antara lain arus yang disebabkan oleh pasang surut (pasut). Arus yang disebabkan oleh pasang surut biasanya banyak diamatidi perairan teluk dan pantai (Nontji,1993). Kecepatan arus perairan berpengaruh pada produktifitas padang lamun. Arus tidak mempengaruhi penetrasi cahaya, kecuali jika ia mengangkat sedimen sehingga mengurangi penetrasi cahaya. Aksi menguntungkan dari arus terhadap organisme terletak pada transport bahan makanan tambahan bagi organisme dan dalam hal pengangkutan buangan (Moore, 1958).
Pada daerah yang arusnya cepat, sedimen pada padang lamun terdiri dari lumpur halus dan detritus. Hal ini menunjukkan kemampuan tumbuhan lamun untuk mengurangi pengaruh arus sehingga mengurangi transport sedimen (Berwick, 1983 dalam Mintane,1998).
Salinitas
Salinitas atau kadar garam yaitu jumlah berat semua garam (dalam gram) yang terlarut dalam satu liter air, biasanya dinyatakan dalam satuan ppm. Sebaran salinitas dilaut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai (Nontji, 1993). Spesies padang lamun mempunyai toleransi yang berbeda-beda, namun sebagaian besar memiliki kisaran yang lebar yaitu 10-40‰. Nilai optimum toleransi lamun terhadap salinitas air laut pada nilai 35‰ (Dahuri et al,. 1996).
Kecerahan
Kecerahan perairan menunjukkan kemampuan cahaya untuk menembus lapisan air pada kedalaman tertentu. Pada perairan alami, kecerahan sangat penting karena erat kaitannya dengan proses fotosintesis. Kebutuhasn cahaya yang tinggi bagi lamun untuk kepentingan fotosintesis terlihat dari sebarannya yang terbatas pada daerah yang masih menerima cahaya matahari (Berwick, 1983 dalam Mintane, 1998). Nilai kecerahan perairan sangat dipengaruhi oleh kandungan lumpur, kandungan plankton, dan zat-zat terlarut lainnya (Birowo et al dalam Mintane 1998).
Kedalaman
Kedalaman perairan dapat membatasi distribusi lamun secara vertikal. Lamun tumbuh di zona intertidal bawah dan subtidal atas hingga mencapai kedalaman 30 m. Zona intertidal dicirikan oleh tumbuhan pionir yang didominasi oleh Halophila ovalis, Cymodocea rotundata dan Holodule pinifolia. Sedangkan Thalassodendron ciliatum mendominasi zona intertidal bawah (Hutomo 1997). Selain itu, kedalaman perairan juga berpengaruh terhadap kerapatan dan pertumbuhan lamun. Brouns dan Heijs (1986) mendapatkan pertumbuhan tertinggi Enhalus acoroides pada lokasi yang dangkal dengan suhu tinggi. Selain itu di Teluk Tampa Florida ditemukan kerapatan Thalassia testudinum tertinggi pada kedalaman sekitar 100 cm dan menurun sampai pada kedalaman 150 cm (Durako dan Moffler 1985).
Nutrien
Dinamika nutrien memegang peranan kunci pada ekosistem padang lamun dan ekosistem lainnya. Ketersediaan nutrien menjadi fektor pembatas pertumbuhan, kelimpahan dan morfologi lamun pada perairan yang jernih (Hutomo 1997). Unsur N (Nitrogen)dan P (Fospor) sedimen berada dalam bentuk terlarut di air antara, terjerat/dapat dipertukarkan dan terikat. Hanya bentuk terlarut dan dapat dipertukarkan yang dapat dimanfaatkan oleh lamun (Udy dan Dennison 1996).
Substrat
Lamun dapat ditemukan pada berbagai karakteristik substrat. Di Indonesia padang lamun dikelompokkan ke dalam enam kategori berdasarkan karakteristik tipe substratnya, yaitu lamun yang hidup di substrat lumpur, lumpur pasiran, pasir, pasir lumpuran, puing karang dan batu karang (Kiswara 1997). Selanjutnya Noor (1993) melaporkan adanya perbedaan penting antara komunitas lamun dalam lingkungan sedimen karbonat dan sedimen terrigen dalam hal struktur, kerapatan, morfologi dan biomassa (Noor, 1993).
2.6 Kondisi Lamun dan Invertebrata Pulau Barrang Lompo
Pulau Barrang lompo terletak terletak di antara 119° 19’ 48” BT dan 05° 02’ 48” LS. Secara administratif Pulau Barrang Lompo merupakan wilayah desa yang berbentuk pulau. Luas wilayah daratan pulau Barrang Lompo adalah 89 hektar. Pulau Barrang Lompo terletak sekitar 12 km sebelah barat kota Makassar dan berada dikawasan Spermonde. Kepulauan Barrang Lompo merupakan pulau yang memiliki kondisi lamun yang masih alami, yang mempunyai substrat berupa pasir dan karang.
Terdapat enam spesies, yaitu Enhalus acoroides, Cymodecea rotundata, Halodule pinofolia, Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, dan Syringodium isoetifolium. Lamun di perairan Laut Pulau Barrang Lompo yang mempunyai peranan sangat penting karena dapat menstabilkan substrat ataupun sedimen-sedimen yang masuk keperairan pulau Barrang Lompo. Padang lamun merupakan tempat berasosiasi bagi organisme invertebrata, seperti Pinna sp., Crustacea, Diadema setosum, bintang laut. Invertebrata tersebut mencari makan dan bertempat tinggal di padang lamun.

III METODE PRAKTIK LAPANG
3.1 Waktu dan Tempat
Praktik lapang dilaksanakan pada tanggal 24-25 September 2011. Bertempat di Pulau Barrang Lompo Kecamatan Ujung Tanah, Kota Makassar, terletak di antara 119° 19’ 48” BT dan 05° 02’ 48” LS. Temasuk wilayah pemerintahan Kecamatan Ujung Tanah Kota Makassar, Propinsi Sulawesi Selatan. Pulau Barrang lompo terletak sekitar 12 km sebelah barat kota Makassar dan berada dikawasan Spermonde.
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah kantong sampel yang berfungsi sebagai tempat menyimpan sampel, alat tulis menulis berfungsi untuk menulis hasil dari lapangan, sabak berfungsi untuk mencatat data dari lapangan, alat dasar berfungsi untuk membantu dalam pengambilan data, transek 1×1m2 berfungsi untuk menghitung kerapatan dan penutupan lamun.
Untuk pengukuran data oseanografi diperlukan layang-layang arus yang berfungsi sebagai alat bantu untuk menentukan kecepatan arus, stopwatch berfungsi untuk menghitung waktu yang digunakan pada layang-layang arus, kompas bidik berfungsi untuk menentukan arah arus, hand refractormeter berfungsi sebagai alat pengukur salinitas dan suhu, thermometer berfungsi sebagai alat pengukur suhu air laut. Adapun bahan yang digunakan, yaitu lamun untuk mengidentifikasi lamun, adapaun spesies yang ditemukan diantaranya Enhalus acoroides, Cymodecea rotundata, Halodule pinofolia, Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, dan Syringodium isoetifolium yang berfungsi sebagai sampel untuk menghitung kerapatan/kepadatan jenis dan penutupan lamun, dan beberapa invertebrata, seperti Pinna sp., Diadema setosum, Crustacea dan bintang laut yang berfungsi, bsebagai objek untuk menghitung kelimpahan organisme, serta air laut untuk mengukur salinitas air laut.
3.3 Prosedur Kerja
Prosedur kerja praktik lapang, adalah menentukan lokasi pengamatan, kemudian meletakkan transek kuadran pada daerah pada daerah lamun yang telah ditentukan, untuk pengolahan data pertama-tama menghitung persentase tutupan lamun pada transek kuadran, dengan cara mengamati setiap tegakan lamun pada setiap kisi per jumlah keseluruhan kisi, setelah itu menghitung jumlah jenis lamun di setiap transek kuadran dan menghitung jumlah tegakan lamun disetiap kisi transek kuadran, serta menghitung jumlah individu invertebrate (sesuai pembagian jenis perorangan) yang berada didalam transek kuadran, selanjutnya mengulangi prosedur dari awal sampai akhir pada lokasi yang sama sebanyak 2 kali, yaitu Ulangan Padat I (ULP I) dan Ulangan Jarang I (ULJ I). Dan pada lokasi yang berikutnya juga dilakukan prosedur yang sama sebanyak 2 kali, yaitu Ulangan Padat II (ULP II) dan Ulangan Jarang II (ULJ II).
Pada pengukuran parameter oceanografi, yakni untuk mengukur salinitas menggunakan hand refractometer dengan cara mengambil setetes air laut, kemudian di teteskan di atas kaca hand refractometer setelah itu di tutup dengan penutupnya, kemudian melihat berapa nilai salinitas yang terdapat dalam kaca hand refractometer. Sedangkan untuk mengukur suhu digunakan thermometer, dengan cara thermometer di celupkan ke air laut melihat suhu yang terdapat dalam thermometer. Untuk mengukur kecepatan arus, digunakan layang-layang arus dengan cara layang-layang arus diletakkan diatas permukaan air laut, kemudian menyalakan stopwatch. Jika tali layang-layang arus sudah dalam posisi, kemudian mencatat waktu yang dibutuhkan tali layang-layang arus sampai dalam posisi lurus.
Pengolahan Data
Kerapatan/kepadatan Jenis
D=ni/A

Dimana D : kerapatan jenis (tegakan/1m2)
ni : jumlah tegakan spesies i (tegakan)
A : luas daerah yang disampling (1m2)

Tabel 1. Skala kondisi padang lamun berdasarkan kerapatan
Skala Kerapatan (ind/m2) Kondisi
5 ≥ 625 Sangat rapat
4 425 – 624 Rapat
3 225 – 424 Agak rapat
2 25 – 224 Jarang
1 < 25 Sangat jarang
Sumber : Amran dan Ambo Rappe,2009
3.4.2 Penutupan lamun
C=(Penutupan/kisi)/(Jumlah-kisi)×100 %
Dimana C = presentase penutupan lamun
3.4.3 Kelimpahan organisme
D=ni/A


Dimana D : kelimpahan individu/1m2
ni : jumlah seluruh individu perspesies (transek)
A : luas daerah yang disampling (1m2)


IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Kerapatan dan Penutupan Lamun
Ekosistem padang lamun yang berada di sebelah Tenggara pulau Barrang Lompo yang juga merupakan lokasi pengamatan diketahui penutupan lamun pada ULP II sebanyak 84% dan ULP II sebanyak 94% dan pada ULJ I sebanyak 30% serta pada ULJ II sebanyak 50%, sedangkan kerapatan lamun pada ULP I dan ULP II memiliki kerapatan lamun yang sama sebanyak 1045 m2 termasuk dalam kondisi sangat rapat, pada ULJ I sebanyak 140 m2 termasuk dalam kondisi jarang dan pada ULJ II sebanyak 225 m2 termasuk dalam kondisi agak rapat, dari perhitungan yang telah dilakukan dan kondisi padang lamun termasuk dalam kategori agak rapat, kondisi ini berdasarkan skala kerapatan lamun yang dikutip dalam Amran dan Ambo Rappe (2009). Hal ini dapat dilihat lebih jelas pada tabel 2 dan tabel 3.
Tabel 2. Tabel kerapatan lamun stasiun pengamatan
No ULP I ULP II ULJ I ULJ II
1 48 38 0 8
2 36 41 13 16
3 52 37 3 10
4 56 32 12 5
5 17 61 0 6
Total 209 209 28 45

Tabel 3. Tabel penutupan lamun stasiun pengamatan
No ULP I ULP II ULJ I ULJ II
1 21 3,5 7,5 12,5

Lamun yang ditemukan di stasiun pengamatan dapat ditemukan 6 (enam) jenis lamun dari 12 jenis lamun yang ada di Indonesia, seperti Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Halophila ovalis, Syringodium isoetifolium, Cymodocea rotundata, dan Halophila ovalis. Dari tabel diatas dapat kita ketahui, bahwa lamun yang berada di lokasi pengamatan tergolong dalam kondisi lamun agak rapat.
Kelimpahan Pinna sp.
Tabel 4. Data Kelimpahan Pinna sp.
Ulangan Keberadaan Pinna sp.
ULP I +
ULP II +
ULJ I +
ULJ II +
Pada praktik lapang ini pada setiap stasiun ditemukan species Pinna sp. yang merupakan hewan kelas Bivalvia yang mempunyai 2 (dua) cangkang yang memanfaatkan padang lamun atau ekosistem lamun sebagai daerah asuhan atau habitat dengan menancapkan diri pada substrat berpasir yang tertutupi oleh laun.
Pinna sp. ditemukan pada semua stasiun baik di ULP I, ULP II, ULJ I maupun pada ULJ II. Namun lebih banyak ditemukan pada satsiun di ULP I dan ULJ I yang masing-masing sebanyak tujuh dan enam species, sedangkan pada ULP II dan ULJ II masing-masing sebanyak satu dan tiga species. Pinna sp. tidak hanya hidup di ekosistem lamun tetapi juga dapat hidup di ekosistem lain, sehingga kerapatan dan penutupan lamun tidak memengaruhi kelimpahan Pinna sp..
Parameter Lingkungan
Hasil dari parameter lingkungan yang diukur pada setiap pengulangan dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Tabel parameter lingkungan
Pengukuran ULP1 ULP2 ULJ1 ULJ2
Suhu (°C) 33 32 35 32
Salinitas (‰) 35 35 35 35
Kecepatan Arus (m/s) 0,034 0,03 0,03 0,03
Arah Arus (°BT) 80 80 80 80
Waktu 14.10 14.46 14.39 15.30
Kisaran suhu yang didapatkan pada stasiun pengamatan yaitu 32oC-35oC ini termasuk kedalam kisaran pertumbuhan lamun, ini didukung oleh pernyataan Berwick (1983) yang menyatakan kisaran suhu optimal bagi spesies lamun untuk perkembangan adalah 28°C-30°C, sedangkan untuk fotosintesis lamun membutuhkan suhu optimum antara 25°C-35°C dan pada saat cahaya penuh.
Salinitas yang didapatkan pada stasiun pengamatan yaitu 35‰ dan menurut Dahuri et al,. (1996) spesies padang lamun mempunyai toleransi yang berbeda-beda, namun sebagaian besar memiliki kisaran yang lebar yaitu 10-40‰. Nilai optimum toleransi lamun terhadap salinitas air laut pada nilai 35‰.Sehingga dapat disimpulkan bahwa salinitas di tiap stasiun sesuai untuk pertumbuhan lamun.
Arus yang di dapat dari hasil praktikum pada keempat stasiun yaitu untuk ULP I dan ULP II masing-masing 0,034 m/s dan 0,03 m/s. Kecepatan arus pada ULJ I dan ULJ II masing-masing 0,03 m/s dan 0,03 m/s. Menurut Dahuri, et al 2004 kecepatan arus yang dapat di tolerir oleh lamun berkisar 0,5 m/detik. Sehingga berdasarkan data parameter arus diatas lamun masih dapat tumbuh di tempat tersebut.


V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Dari praktikum yang telah dilakukan, pada kondisi lamun di pulau Barrang Lompo dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa kerapatan dan penutupan lamun tidak berpengaruh terhadap kelimpahan invertebrata Pinna sp. Tetapi padang lamun memberikan manfaat yang besar bagi Pinna sp. Dimana lamun menjadi habitat Pinna sp. Dan dapat berfungsi sebagai tempat perlindungan dari mangsa.

5.2 Saran
Adapun saran agar laporan ini tidak hanya dibaca oleh mahasiswa/i kelautan saja, tetapi bisa dipublikasikan diluar jurusan kelautan agar pengetahuan mengenai lamun dapat bertambah, dan bagi pembaca diharapakan untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai kondisi padang lamun di pulau Barrang Lompo.



DAFTAR PUSTAKA
Amran,M A and Ambo Rappe,R.2009. Estimation of Seagrass Coverage By Depth Inveriant Indices On Quickbird Imagery.Research Report Dipa Biotrop.
Azkab M.H,.1999. Kecepatan tumbuh dan produksi lamun dari Teluk Kuta, Lombok.Dalam:P3O-LIPI, Dinamika komunitas biologis pada ekosistem lamun di Pulau Lombok, Balitbang Biologi Laut, Pustlibang Biologi Laut LIPI,Jakarta.
Bengen,D.G.2001. Sinopsis Ekosistem dan Sumber Daya Alam Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor.
Berwick,N.L. 1983. Guidelines for Analysis of Biophysical Impact to Tropical Coastal Marine Resources.The Bombay Natural History ociety Centenaty Seminar Conservation in Developing Countries-Problem and Prospects,Bombay:6-10 ecember 1983.
Brouns, J.J.W.M. dan F.M.L. Heijs 1991. Seagrass ecosystem in the Tropical West Pacific. p. 371-387. Dalam: Mathieson, A.C. dan P.H. Nienhuis (Eds.) Ecosystem of the world 24: Intertidal and littoral ecosystem. Elsevier. Amsterdam. xiii + 564 pp.
Dahuri,R.,J. Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
Den Hartog, 1970. The seagrass of the world. North Holland Publising Company.London.
Endarwati, H. 2010. Modul 2, Botani Laut.
E.G. Menez. dan Philips, R.C, 1998. Seagrasses. Smithsonion Institution Press. Washington D.C. 104 hal. Hutabarat dan Evans.1983.Pengantar Oceanografi.UI-Press.Jakarta.
Hutabarat,S dan S.M Evans, 1986. Pengantar Oseanografi. UI-Press. Jakarta.
Hutomo,H. 1997. Padang lamun Indonesia :salah satu ekosistem laut dangkal yang belum banyak dikenal.Puslitbang Oseanologi-LIPI. Jakarta.35 pp.
Kiswara, W dan M. Hutomo,. 1985. Habitat Dan Sebaran Geografik Lamun. Oseana, Volume X, Nomor 1 : 21- 30. Jakarta : Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Menez, E.G.,R.C. Phillips dan H.P.Calumpong. 1983. Sea Grass from the Philippines. Smithsonian Cont. Mar. Sci. 21. Smithsonian Inst. Press, Washington.
MOORE, H.B. 1966. Ecology of echinoids. In: BOO-LOOTIAN, R.A (ed.).Physiology of Echinodermata. Wiley Interscience, New York: 73–86.
Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Djambatan, Jakarta
Noor, Y.R., M. Khazali, dan I.N.N. Suryadiputra. 1999. Mangroves Identification
Guidelines in Indonesia. Wet Land International—Indonesia Programme. Bogor.220p.
Nybakken J,.W. 1988. Biologi Laut; Suatu Pendekatan Ekologis.Gramedia. Jakarta.
Romimohtarto,K. dan S. Juwana. 1999. Biologi Laut Ilmu Pengetahuan Biota Laut. 337-342. Penerbit LIPI. Jakarta. xii+456h
http://tulisanzhi.blogspot.com/2010/06/laporan-praktikum-sumberdaya-perikanan_9075.html) (diakses tanggal 20 Oktober 2011 pukul 10.00 WITA)
http://itk.fpik.ipb.ac.id/SIELT/lamun.php?load=deskripsi.php (diakses tanggal 20 Oktober 2011 pukul 10.30)

Kamis, 24 November 2011

ARTIKEL PLANKTON

ARTIKEL I
Identifikasi Produktivitas Primer berdasarkan Model Ekosistem Dinamik di Perairan Paparan Sunda

Ekosistem pesisir dan laut merupakan ekosistem yang produktif, unik dan mempunyai nilai ekologi dan ekonomi yang tinggi. Selain menghasilkan bahan dasar untuk pemenuhan kebutuhan pangan, keperluan rumah tangga dan industri yang dalam konteks ekonomi bernilai komersial tinggi, ekosistem pesisir dan laut juga memiliki fungsi-fungsi ekologis penting, antara lain sebagai penyedia nutrien, tempat berkembang biak dan tumbuhnya hewan-hewan laut, serta tempat mencari makan bagi beragam biota laut. Semakin tinggi fungsi ekologisnya, yang berarti semakin subur perairan, akan semakin tinggi produktivitas primernya dan makin tinggi pula nilai ekonominya.
Produktivitas primer adalah laju pembentukan senyawa-senyawa organik yang kaya energi dari senyawa-senyawa anorganik (Nybakken,1992). Jumlah seluruh bahan organik yang terbentuk dalam proses produktivitas primer disebut produksi primer kotor (gross primary production), atau produksi total, sedangkan hasil produksi sisa respirasi tumbuhan disebut sebagai produksi primer bersih (net primary production). Produktivitas dinyatakan dalam jumlah gram karbon per m2 per hari (g/m2/hari) atau per tahun (g/m2/tahun). Faktor-faktor pembentukan produktivitas primer merupakan proses gabungan antara dinamika perairan dan proses fisis yang terjadi di perairan, reaksi kimia dari kegiatan biota laut seperti fotosintesis dan respirasi, serta interaksi laut-udara yang memungkinkan adanya penyerapan CO2 dan energi dari atmosfer.
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya produktivitas primer adalah cahaya, konsentrasi nutrien, temperatur, dan dinamika oseanografi seperti pasang surut, turbulensi, upwelling, arus, dan front. Daerah upwelling merupakan salah satu lokasi yang memiliki produktivitas primer tinggi, dimana unsur hara dari bawah permukaan akan terbawa naik oleh arus ke permukaan. Oleh karena itu penentuan daerah upwelling diharapkan dapat memberikan informasi lebih untuk memanfaatkan sumberdaya laut secara lebih optimal. Kejadian upwelling yang periodik di Samudra Hindia (Susanto, et al., 2001), selatan Sulawesi dan Selat Malaka diperkirakan akan sangat mempengaruhi siklus biogeokimia di Laut Jawa. Demikian juga halnya dengan dinamika arus dan transpor massa air di sekitar Laut Jawa (Irwandi et al., 2002; Putri, 2002, 2005), serta anomali suhu muka laut ketika terjadi ENSO (El Nino Southern Oscillation) dan IOD (Indian Ocean Dipole).
Hasil penelitian tahun pertama yang telah diperoleh berdasarkan pengolahan data citra satelit antara lain bahwa dinamika laut dan perairan dekat pantai secara umum dapat mempengaruhi kondisi produktivitas primer di perairan Paparan Sunda. Sungai-sungai yang bermuara ke Laut Jawa (Putri, 2009c), terutama sepanjang pantai selatan Kalimantan, membawa nutrien lebih banyak dan menyebabkan produktivitas primer meningkat dengan area yang lebih luas pada musim penghujan (monsun barat laut) dibandingkan pada musim kemarau (monsun tenggara). Di perairan Selat Malaka produktivitas primer meningkat pada monsun barat laut hingga 2500 mgC/m2/hari, dibanding monsun tenggara (1500 mgC/m2/hari), terutama di sepanjang pantai timur Sumatra. Sebaliknya di daerah dekat pantai Sulawesi Selatan pada monsun tenggara produktivitas primer meningkat hingga 2000 mgC/m2/hari dibandingkan dengan monsun barat laut (500 mgC/m2/hari). Hasil lain menunjukkan bahwa dinamika perairan Selat Malaka menunjukkan adanya pengaruh dari Laut Andaman di bagian barat laut dan Laut Cina Selatan di bagian tenggara. Temperatur perairan ini menghangat pada bulan Maret dan kembali dingin pada bulan November. Air dengan salinitas tinggi dari Laut Andaman pada bulan April masuk ke perairan ini pada kedalaman 50 m menyusur pantai timur Sumatera (Putri, 2009b). Di Selat Karimata air laut dengan temperatur dingin dan salinitas rendah berasal dari pengaruh Laut Jawa dan Laut Cina Selatan pada periode Desember-Januari-Februari (DJF) dan Juni-Juli-Agustus (JJA). Simulasi model biologis menunjukkan kecepatan vertikal di perairan Selat Malaka menjadi salah satu faktor penting terjadinya pengangkatan nutrien dari lapisan bawah karena lapisan percampuran yang dangkal. Konsentrasi nitrat dan silikat permukaan 0,39 molN/l dan 3 molSi/l dan memiliki kesesuaian dengan hasil pengamatan yang berkisar antara 0,11 – 3,20 molN/l untuk nitrat dan 3,25 – 12,5 molSi/l untuk silikat. Di perairan Karimata dan Laut Jawa pengaruh pengangkatan oleh proses vertikal melemah karena lapisan percampuran yang dalam, sehingga proses remineralisasi dan regenerasi nutrien menjadi rendah. Konsentrasi nitrat pada kisaran 0,1 – 0,3 molN/l sedangkan silikat bernilai 4 – 10 molSi/l (Putri,2008).
Model hidrodinamika dan ekosistem laut 3-D akan digunakan dalam penelitian tahun kedua ini. Model baroklinik hidrodinamika 3-D yang akan digunakan adalah HAMburg Shelf Ocean Model (HAMSOM) yang telah diterapkan di berbagai perairan laut dunia (Backhaus, 1985; Pohlmann, 1996; Putri, 2005). Dari hasil model hidrodinamika ini akan diperoleh informasi dinamika oseanografi di Laut Jawa dan perairan sekitarnya yang akan digunakan sebagai masukan dalam model ekosistem. Selanjutnya model ekosistem akan disimulasikan untuk memperoleh peta distribusi dan variabilitas produktivitas primer dan kesuburannya. Tujuan keseluruhan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi sebaran dan variabilitas produktivitas primer di perairan Laut Jawa dan sekitarnya seperti Selat Malaka, Selat Karimata, Selat Makasar, Laut Flores, serta selat-selat sempit yang menghubungkan Laut Jawa dan Samudra Hindia di bagian selatan.



ARTIKEL 2
HUBUNGAN ANTARA FAKTOR OSEANOGARFI DAN PRODUKTIVITAS PRIMER PERAIRAN INDONESIA

Perairan Indonesia yang merupakan bagian dari laut tropik dicirikan oleh cukup tersedia cahaya matahari namun memiliki konsentrasi nutrien rendah. Keadaan ini mengakibatkan produktivitasnya sangat rendah.  Seperti halnya produktivitas yang rendah bila dibandingkan dengan lingkungan laut lainnya, misalnya dengan laut tropik, laut lepas merupakan bagian dari badan perairan bahari yang memiliki laju produktivitas rendah.  Menurut Valiela (1984), laut terbuka yang luasnya 90 % dari laut dunia memiliki laju perairan pantai, dimana produktivitasnya melebihi 60 % dari produktivitas yang ada di laut.

Skema pendekatan masalah untuk melihat pengaruh faktor oseanografi terhadap produktivitas primer perairan Indonesia.

Laju produksi primer di lingkungan laut ditentukan oleh berbagai faktor fisika antara lain:

1.        Upwelling

Tingginya produktivitas di laut terbuka yang mengalami upwelling disebabkan karena adanya pengkayaan nutrien pada lapisan permukaan tercampur yang dihasilkan melalui proses pengangkatan massa air dalam. Seperti yang dikemukakan oleh Cullen et al. (1992) bahwa konsentrasi klorofil-a dan laju produktivitas primer meningkat di sekitar ekuator, dimana terjadi aliran nutrien secara vertikal akibat adanya upwelling di daerah divergensi ekuator.

Beberapa daerah-daerah perairan Indonesia yang mengalami upwelling akibat pengaruh pola angin muson adalah Laut Banda, dan Laut Arafura (Wyrtki, 1961 dan Schalk, 1987), Selatan Jawa  dan  Bali ( Hendiarti dkk, 1995 dan Bakti, 1998), dan Laut Timor (Tubalawony, 2000).

Dari pengamatan sebaran konsentrasi klorofil-a di Laut Banda dan Laut Aru diperoleh bahwa konsentrasi klorofil-a tertinggi dijumpai pada Musim Timur, dimana pada saat tersebut terjadi upwelling di Laut Banda, sedangkan klorofil-a terendah dijumpai pada Musim Barat.  Pada saat ini di Laut Banda tidak terjadi upwelling dalam skala yang besar sehingga nilai konsentrasi nutrien di perairan lebih kecil.  Di perairan Banda (Vosjan and Nieuwland, 1987) pada Musim Timur terdapat 2 (dua) periode “bloom” fitoplankton, pertama pada bulan Juni dan kedua di bulan Agustus/September.  Selanjutnya Nontji (1975), dari hasil studi distribusi klorofil-a di Laut Banda pada fase akhir di bulan September diperoleh bahwa konsentrasi klorofil tertinggi di bagian timur Laut Banda, khususnya di sekitar Pulau Kei dan Tanimbar. Juga dikatakan bahwa 60% dari klorofil-a tersebut berada pada kedalaman 25 m. Hendiarti dkk. (1995) mendapatkan bahwa pada Musim Timur di perairan selatan Pulau Jawa-Bali dimana terjadi upwelling, rata-rata konsentrasi klorofil-a sebesar 0,39 mm/l dan pada Musim Barat sekitar 0,18 mm/l.

2.  Percampuran Vertikal Massa Air

Percampuran vertikal massa air sangat berperan di dalam menyuburkan kolom perairan yaitu dengan cara mengangkat nutrien dari lapisan dalam ke lapisan permukaan. Dengan meningkatnya nutrien pada lapisan permukaan dan dibantu dengan penetrasi cahaya matahari yang cukup di dalam kolom perairan dapat meningkatkan laju produktivitas primer melalui aktivitas fotosintesa fitoplankton. Chaves and Barber (1987) mengatakan bahwa masukan nutrien terutama untuk mengoptimalkan konsentrasi NO3 pada lapisan permukaan dan secara relatif meningkatkan produksi baru.

Percampuran massa air secara vertikal dipengaruhi oleh tiupan angin.  Pada saat Musim Timur di perairan Indonesia bertiup angin Muson Tenggara yang mengakibatkan sebagian besar perairan Indonesia Timur mengalami pergolakan yang mengakibatkan terjadinya percampuran massa air secara vertikal.  Tubalawony (2000) berdasarkan data ekspedisi Baruna Jaya pada musim timur tahun 1991 mendapatkan adanya percampuran vertikal massa air di  perairan lepas pantai Laut Timor yang umumnya lebih dangkal.  Akibatnya kandungan klorofil-a di dalam kolom perairan  umumnya lebih tinggi bila dibandingkan dengan bagian lain dari perairan Laut Timor.

3.      Percampuran Massa Air secara Horisontal

Sistem angin muson dan arlindo juga mempengaruhi pola sirkulasi massa air di Perairan Indonesia.  Sistem ini mengakibatkan terjadinya percampuran antara dua massa air yang berbeda di suatu perairan.  Misalnya pada saat Musim Timur, massa air dari Lautan Pasifik akan bertemu dengan massa air Laut Banda yang mengalami upwelling atau pada saat bertiup angin muson tenggara terjadi penyebaran massa air perairan Indonesia Timur ke perairan Indonesia bagian barat dan sebaliknya terjadi pada saat bertiup angin muson barat laut. Dengan demikian sirkulasi massa air dan percampuran massa air akan mempengaruhi produktivitas primer suatu perairan.  Tingginya produktivitas suatu perairan akan berhubungan dengan daerah asal dimana massa air di peroleh.  Nontji (1974) dalam Monk et al. (1997) mengatakan bahwa rata-rata konsentrasi klorofil-a di perairan Indonesia kira-kira 0,19 mg/m3 dan 0,16 mg/m3 selama Musim Barat, dan 0,21 mg/m3 selama Musim Timur.

Selain beberapa faktor fisik di atas, keberadaan lapisan termoklin sangat mendukung tingginya laju produktivitas produksi primer. Bagian bawah dari lapisan tercampur atau bagian atas dari lapisan termoklin merupakan daerah yang memiliki konsentrasi nutrien yang cukup tinggi sehingga dapat merangsang meningkatnya produktivitas primer.  Lapisan termoklin yang dangkal lebih berperan dalam menunjang produktivitas perairan.  Karena pada saat terjadinya proses percampuran vertikal, nutrien pada lapisan termoklin lebih mudah mencapai lapisan permukaan tercampur jika dibandingkan dengan lapisan termoklin yang lebih dalam.  Beberapa penelitian tentang produktivitas primer dalam kaitannya dengan keberadaan massa air menyimpulkan bahwa kedalaman dimana konsentrasi klorofil-a maksimum adalah pada bagian batas atas lapisan termoklin.  Matsuura et al. (1997) dari hasil pengamatannya di timur laut Lautan Hindia mendapatkan bahwa konsentrasi klorofil-a pada lapisan permukaan tercampur sangat sedikit dan mulai meningkat menuju bagian bawah dari lapisan permukaan tercampur dengan konsentrasi maksimum terdapat pada kedalaman kira-kira 75 – 100 m. Sedangkan Hendiarti dkk. (1995) mengatakan bahwa konsentrasi maksimum klorofil-a di perairan selatan Pulau Jawa – Bali berada pada kedalaman 20 m pada Musim Timur dan 80 m pada Musim Barat. Umumnya kedalaman tersebut merupakan batas atas lapisan termoklin.


ARTIKEL 3
FAKTOR UTAMA YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS PRIMER DI LAUT

Cahaya

Cahaya merupakan salah satu faktor yang menentukan distribusi klorofil-a di laut. Di laut lepas, pada lapisan permukaan tercampur tersedia cukup banyak cahaya matahari untuk proses fotosintesa.  Sedangkan di lapisan yang lebih dalam, cahaya matahari tersedia dalam jumlah yang sedikit bahkan tidak ada sama sekali. Ini memungkinkan klorofil-a lebih banyak terdapat pada bagian bawah lapisan permukaan tercampur atau pada bagian atas dari permukaan lapisan termoklin jika dibandingkan dengan bagian pertengahan atau bawah lapisan termoklin.  Hal ini juga dikemukakan oleh Matsuura et al. (1997) berdasarkan hasil pengamatan di timur laut Lautan Hindia, dimana diperoleh bahwa sebaran konsentrasi klorofil-a pada bagian atas lapisan permukaan tercampur sangat sedikit dan mulai meningkat menuju bagian bawah dari lapisan permukaan tercampur dan menurun secara drastis pada lapisan termoklin hingga tidak ada klorofil-a lagi pada lapisan di bawah lapisan termoklin.

Fotosintesa fitoplankton menggunakan klorofil-a, c, dan satu jenis pigmen tambahan seperti protein-fucoxanthin dan peridinin, yang secara lengkap menggunakan semua cahaya dalam spektrum tampak.  Pada panjang gelombang 400 – 700 nm, cahaya yang diabsorbsi oleh pigmen fitoplankton dapat dibagi dalam: cahaya dengan panjang gelombang lebih dari 600 nm, terutama diabsorbsi oleh klorofil dan cahaya dengan panjang gelombang kurang dari 600 nm, terutama diabsorbsi oleh pigmen-pigmen pelengkap/tambahan (Levinton, 1982).

Dengan adanya perbedaan kandungan pigmen pada setiap jenis plankton, maka jumlah cahaya matahari yang diabsorbsi oleh setiap plankton akan berbeda pula.  Keadaan ini berpengaruh terhadap tingkat efisiensi fotosintesa. Fujita (1970) dalam Parsons et al. (1984) mengklasifikasi alga laut berdasarkan efisiensi fotosintesa oleh pigmen kedalam tipe klorofil-a dan b untuk alga hijau dan euglenoid; tipe klorofil-a, c, dan caratenoid untuk diatom, dinoflagelata, dan alga coklat; dan tipe klorofil-a dan ficobilin untuk alga merah dan alga hijau biru.

Nutrien

Nutrien adalah semua unsur dan senjawa yang dibutuhkan oleh tumbuhan-tumbuhan dan berada dalam bentuk material organik (misalnya amonia, nitrat) dan anorganik terlarut (asam amino). Elemen-elemen nutrien utama yang dibutuhkan dalam jumlah besar adalah karbon, nitrogen, fosfor, oksigen, silikon, magnesium, potassium, dan kalsium, sedangkan nutrien trace element dibutuhkan dalam konsentrasi sangat kecil, yakni besi, copper, dam vanadium (Levinton, 1982). Menurut Parsons et al. (1984), alga membutuhkan elemen nutrien untuk pertumbuhan.  Beberapa elemen seperti C, H, O, N, Si, P, Mg, K, dan Ca dibutuhkan dalam jumlah besar dan disebut makronutrien, sedangkan elemen-elemen lain dibutuhkan dalam jumlah sangat sedikit dan biasanya disebut mikronutrien atau trace element.

Sebaran klorofil-a di dalam kolom perairan sangat tergantung pada konsentrasi nutrien.  Konsentrasi nutrien di lapisan permukaan sangat sedikit dan akan meningkat pada lapisan termoklin dan lapisan di bawahnya.  Hal mana juga dikemukakan oleh Brown et al. (1989), nutrien memiliki konsentrasi rendah dan berubah-ubah pada permukaan laut dan konsentrasinya akan meningkat dengan bertambahnya kedalaman serta akan mencapai konsentrsi maksimum pada kedalaman antara 500 – 1500 m.

Suhu

Suhu dapat mempengaruhi fotosintesa di laut baik secara langsung maupun tidak langsung.  Pengaruh secara langsung yakni suhu berperan untuk mengontrol reaksi kimia enzimatik dalam proses fotosintesa.  Tinggi suhu dapat menaikkan laju maksimum fotosintesa (Pmax), sedangkan pengaruh secara tidak langsung yakni dalam merubah struktur hidrologi kolom perairan yang dapat mempengaruhi distribusi fitoplankton (Tomascik et al., 1997 b).

Secara umum, laju fotosintesa fitoplankton meningkat dengan meningkatnya suhu perairan, tetapi akan menurun secara drastis setelah mencapai suatu titik suhu tertentu. Hal ini disebabkan karena setiap spesies fitoplankton selalu berdaptasi terhadap suatu kisaran suhu tertentu.



ARTIKEL 4
Pengaruh Perubahan Iklim Global Terhadap Produktivitas Primer dan Kehidupan di Laut

Monday, September 13, 2010 12:50:29 PM

Pengaruh Global Warming terhadap Kehidupan di Laut
Laut merupakan ekosistem dan habitat terbesar bagi berbagai jenis mahluk hidup di bumi. Lebih dari 70% bagian bumi dikelilingi oleh lautan, sehingga terdapat asumsi bahwa kehidupan di bumi bermula dari laut. Laut memiliki peranan penting dalam kehidupan sehari-hari, salah satunya yaitu sebagai reservoir atau penampung panas radiasi sinar matahari ke bumi, karena fungsinya ini sehingga laut dapat mempertahankan iklim baik secara lokal maupun global.

Isu yang tengah hangat pada abad ke-20 di era industrialisasi yaitu pemanasan global yang timbul akibat aktivitas manusia (antropogenik). Menurut Murdiyarso (2003), pemanasan global adalah fenomena naiknya suhu rata-rata permukaan bumi yang diakibatkan oleh radiasi panas bumi yang lepas ke udara ditahan oleh “selimut gas rumahkaca”. Pada dasarnya atmosfir bumi menangkap radiasi panas sehingga udara bumi bersuhu nyaman bagi kehidupan mahluk hidup, namun revolusi industri telah meningkatkan gas rumahkaca seperti karbon dioksida (CO2), metana (CH4) dan nitous oksida (N2O).

Pemanasan global (global warming) membawa ancaman yang serius terhadap kelestarian seluruh ekosistem yang ada di muka bumi, termasuk terumbu karang. Pada ekosistem terumbu karang pemanasan global tersebut diduga telah menyebabkan lebih sering munculnya pemucatan karang (coral bleaching). Pemucatan karang adalah terputusnya hubungan simbiotik antara zooxanthellae dengan karang yang menjadi inangnya (Brown, 1997 dalam Bachtiar, 2009). Efek pemanasan global akan terus berlangsung sehingga karang diduga akan lebih sering mengalami kerusakan akibat pemanasan global. Dampak pemanasan global pada terumbu karang tidak hanya mengubah lingkungan karang sehingga tidak dapat dihuni, tetapi juga mengubah metabolisme karang sehingga karang lebih rapuh, kehilangan resistansi dan resiliensi.
Suhu permukaan bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 0C (1.33 ± 0.32 0F) selama 100 tahun hingga 2005 (Wikipedia, 2009). Diperkirakan suhu permukaan laut akan terus meningkat hingga 2,5 0C pada 100 tahun mendatang. Peningkatan suhu permukaan laut telah menempatkan karang pada kondisi lingkungan yang sangat kritis. Pada saat ini, suhu lingkungan tempat tumbuhnya karang telah mendekati ambang batas maksimum toleransinya. Kenaikan suhu satu atau dua derajat di atas suhu rata-rata, selama sebulan, dapat menyebabkan karang menderita pemucatan (Goreau and Hayes, 2005 dalam Bachtiar, 2009). Sedangkan menurut Hoegh-Guldberg (1999) dalam Bachtiar (2009), pemucatan karang (coral bleaching) terjadi jika suhu air laut meningkat satu derajat di atas suhu maksimum tahunan. Suhu yang mampu ditoleransi oleh karang di daerah tropis yaitu dibawah 18 0C dengan suhu optimum 26-27 0C (Wikipedia, 2009). Perubahan iklim global akan meningkatkan frekuensi terjadinya pemucatan karang.

Menurut Brown (1997) dalam Bachtiar (2009), faktor-faktor penyebab pemucatan karang meliputi: kenaikan suhu air laut, penurunan suhu air laut, radiasi sinar matahari (termasuk sinar ultraviolet dan PAR), kombinasi antara kenaikan suhu dan radiasi sinar matahari, penurunan salinitas dan infeksi bakteri. Faktor-faktor tersebut membuat karang menjadi stress dan sangat sensitif terhadap gangguan fisik lainnya. Ada tiga mekanisme yang menyebabkan berkurangnya zooxanthellae di dalam jaringan karang. Pemucatan karang dapat terjadi melalui degradasi zooxanthellae in-situ, pengeluaran zooxanthellae secara exocytosis dan pengelupasan jaringan endoderm yang berisi zooxanthellae. Ketiga macam mekanisme tersebut secara berurutan membawa dampak yang semakin buruk, bahkan berujung pada kematian karang secara massal. Pemucatan karang yang terjadi dalam waktu lama akan menyebabkan karang mati kelaparan karena sekitar 70% kebutuhan energi karang berasal dari alga zooxanthellae.

Terumbu karang memegang peranan penting bagi kehidupan organisme di laut, selain bersimbiosis dengan alga zooxanthellae, karang yang sehat merupakan habitat ikan-ikan karang, tepat mencari makan, berkembang biak dan berlindung dari gangguan fisik di laut. Sebab plankton dan alga merupakan produsen primer di laut yang menjadi sumber energi bagi konsumen tingkat trofik di atasnya sehingga keberadaannya sangat penting bagi produktivitas primer di laut.
Produktivitas primer adalah proses memproduksi komponen organik menggunakan karbondioksida dari udara dan perairan, prinsip utamanya yaitu proses fotosintesis dan kemosintesis. Kehidupan di bumi secara langsung maupun tidak langsung bergantung pada produktivitas primer yang dilakukan oleh organisme autotrof yang menjadi dasar rantai makanan (Wikipedia, 2008)

Gangguan terhadap komunitas terumbu karang dan alga zooxanthellae akan memberikan dampak yang besar bagi organisme laut lainnya. Pemanasan global menyebabkan naiknya suhu rata-rata permukaan bumi dan laut, berdampak pada terumbu karang yang bersimbiosis dengan alga zooxanthellae. Akibat perubahan suhu yang tinggi melebihi ambang batasnya sehingga alga zooxanthellae mengalami stress dan meninggalkan karang yang menjadi inangnya kemudian terjadilah ketidakseimbangan, dimana inang karang yang ditinggalkan oleh zooxanthellae akan mengalami pemucatan (coral bleaching) sehingga ekosistem terumbu karang menjadi rusak dan tidak dapat dihuni lagi oleh ikan karang. Organisme yang menjadi konsumen dan berada di tingkat trofik diatasnya akan mengalami kesulitan memperoleh makanan dan habitat karang yang layak dihuni serta aman sehingga organisme ini dapat mati. Secara alamiah, mahluk hidup memiliki insting dan sensor terhadap perubahan lingkungan di sekitarnya. Setiap organisme memiliki batasan toleransi yang berbeda-beda terhadap perubahan fisik lingkungan habitatnya. Peningkatan suhu dari rata-rata pertahun akan menyebabkan stress pada organism tersebut. Organisme yang memiliki batas toleransi yang sempit terhadap suhu akan lebih mudah terkena dampak pemanasan global, dimana naiknya suhu perairan diatas rata-rata pertahun di tempat tinggalnya dapat menyebabkan stress, dampak yang akut akan mengakibat kematian massal species, kemudian species tersebut akan mengalami kepunahan.
Sumber :


ARTIKEL 5
Produktivitas Primer Eksosistem

Posted by Mahmuddin pada September 9, 2009

I. Pendahuluan

Suatu ekosistem dapat terbentuk oleh adanya interaksi antara makhluk dan lingkungannya, baik antara makhluk hidup dengan makhluk hidup lainnya dan antara makhluk hidup dengan lingkungan abiotik (habitat). Interaksi dalam ekosistem didasari adanya hubungan saling membutuhkan antara sesama makhluk hidup dan adanya eksploitasi lingkungan abiotik untuk kebutuhan dasar hidup bagi makhluk hidup. Jika dilihat dari aspek kebutuhannya, sesungguhnya interaksi bagi makhluk hidup umumnya merupakan upaya mendapatkan energy bagi kelangsungan hidupnya yang meliputi pertumbuhan, pemeliharaan, reproduksi dan pergerakan.

Sumber energy primer bagi ekosistem adalah cahaya matahari. Energi cahaya matahari hanya dapat diserap oleh organisme tumbuhan  hijau dan organisme fotosintetik. Energi cahaya digunakan untuk mensintesis molekul anorganik menjadi molekul organik yang kaya energy. Molekul tersebut selanjutnya disimpan dalam bentuk makanan dalam tubuhnya dan menjadi sumber bahan organic bagi organisme lain yang heterotrof. Organisme yang memiliki kemampuan untuk mengikat energy dari lingkungan disebut produsen.

II. Pembahasan

2.1.Produktivitas Primer

Produksi bagi ekosistem merupakan proses pemasukan dan penyimpanan energy dalam ekosistem. Pemasukan energy dalam ekosistem yang dimaksud adalah pemindahan energy cahaya menjadi energy kimia oleh produsen. Sedangkan penyimpanan energy yang dimaksudkan adalah penggunaan energy oleh konsumen dan mikroorganisme. Laju produksi makhluk hidup dalam ekosistem disebut sebagai produktivitas.

Produktivitas primer merupakan laju penambatan energy yang dilakukan oleh produsen.  Menurut Campbell (2002), Produktivitas primer menunjukkan Jumlah energy cahaya yang diubah menjadi energy kimia oleh autotrof suatu ekosistem selama suatu periode waktu tertentu. Total produktivitas primer dikenal sebagai produktivitas primer kotor (gross primary productivity, GPP). Tidak semua hasil produktivitas ini disimpan sebagai bahan organik pada tubuh organisme produsen atau pada tumbuhan yang sedang tumbuh, karena organisme tersebut menggunakan sebagian molekul tersebut sebagai bahan bakar organic dalam respirasinya. Dengan demikian, Produktivitas primer bersih (net primary productivity, NPP) sama dengan produktivitas primer kotor dikurangi energy yang digunakan oleh produsen untuk respirasi (Rs):

NPP = GPP – Rs

Dalam sebuah ekosistem, produktivitas primer menunjukkan simpanan energy kimia yang tersedia bagi konsumen. Pada sebagian besar produsen primer, produktivitas primer bersih dapat mencapai 50% – 90% dari produktivitas primer kotor. Menurut Campbell et al (2002), Rasio NPP terhadap GPP umumnya lebih kecil bagi produsen besar dengan struktur nonfotosintetik yang rumit, seperti pohon yang mendukung sistem batang dan akar yang besar dan secara metabolik aktif.

Produktivitas primer dapat dinyatakan dalam energy persatuan luas persatuan waktu (J/m2/tahun), atau sebagai biomassa (berat kering organik) vegetasi yang ditambahkan ke ekosistem persatuan luasan per satuan waktu (g/m2/tahun). Namun demikian, produktivitas primer suatu ekosistem hendaknya tidak dikelirukan dengan total biomassa dari autotrof fotosintetik yang terdapat pada suatu waktu tertentu, yang disebut biomassa tanaman tegakan (standing crop biomass). Produktivitas primer menunjukkan laju di mana organisme-organisme mensintesis biomassa baru. Meskipun sebuah hutan memiliki biomassa tanaman tegakan yang sangat besar, produktivitas primernya mungkin sesungguhnya kurang dari produktivitas primer beberapa padang rumput yang tidak mengakumulasi vegetasi (Campbell et al., 2002).

2.2. Estimasi Fotosintesis

Estimasi potensi produktivitas primer maksimum dapat diperoleh dari efisiensi potensial fotosintetis. Energi cahaya yang dipancarkan matahari ke bumi ± 7.000 kkal/m2/hari pada musim panas atau daerah tropis dalam keadaan tidak mendung. Dari jumlah tersebut, sebanyak ± 2.735 kkal dapat dimanfaatkan secara potensial untuk fotosintetis bagi tumbuhan. Sekitar 70% energy yang tersedia berperan dalam perantara pembentukan pemindahan energy secara fotokhemis ke fotosintesis. Dari total energy tersebut, hanya sekitar 28% diabsorbsi ke dalam bentuk yang menjadi bagian dari pemasukan energy ke dalam ekosistem. Prinsipnya dibutuhkan minimum 8 Einstein (mol quanta) cahaya untuk menggerakkan 1 mol karbohidrat.

Secara teoritis produktivitas primer bruto ekosistem dapat dihasilkan 635 kkal/m2/hari dan sebanyak 165 g/m2/hari berubah ke massa bahan organik. Untuk keperluan respirasi harian, tumbuhan menggunakan ± 25% dari produk organik. Dengan demikian produksi netto yang diperoleh ekosistem ± 124 g/m2/hari. Estimasi hasil itu dapat diperoleh jika cahaya maksimal, efisiensi maksimal dalam perubahan cahaya menjadi karbohidrat dan respirasi minimum. Salah satu bukti catatan produktivitas bersih harian adalah sebesar 54 g/m2/hari pada ekosistem padang rumput tropis dengan radiasi cahaya yang tinggi.

2.3. Pengukuran Produktivitas

Pengukuran produktivitas dapat dilakukan dengan beberapa metode seperti metode biomassa, metode penandaan  dan metode metabolisme. Penelitian produktivitas di Indonesia umumnya menggunakan metode penandaan. Produktivitas yang diperoleh dari hasil pengukuran ini bisa lebih kecil dari produktivitas yang sebenarnya karena tidak memperhitungkan kehilangan seresah, pengaruh grazing hewan-hewan herbivore yang memakan tumbuhan. Beberapa peneliti membagi biomassa atau produktivitas menurut letaknya terhadap substrat yaitu biomassa di atas substrat (meliputi batang, helaian dan pelepah daun) dan biomassa di bawah substrat meliputi akar, dan rhizome (Dedi, 2009).

Tunas-tunas fotosintetik pada tumbuhan merupakan organ penting untuk berproduksi. Namun banyak hasil fotosintesis ditranslokasikan ke bawah tanah, di mana hasil fotosintesis tersebut mendukung pertumbuhan akan dan disimpan. Menurut Mcnaughton dan Wolf (1998), siklus tahunan biomassa tumbuhan di atas dan di bawah tanah mengarah kepada hubungan terbalik. Selama musim pertumbuhan, ketika biomassa di atas tanah meningkat cepat, biomas di bawah tanah umumnya cenderung menurun. Sedangkan pada akhir musim, biomassa di bawah tanah umumnya meningkat kembali karena kelebihan produksi yang dihasilkan tunas-tunas kemudian dipindahkan ke bawah.

2.4. Produktivitas Ekosistem Dunia

Ekosistem yang berbeda sangat bervariasi dalam produktivitasnya. Hutan hujan tropis merupakan salah satu ekosistem terrestrial yang paling produktif. Di samping karena  hutan hujan tropis menutupi sebagian besar bumi dan memiliki keanekaragaman yang sangat tinggi, besarnya volume biomassa tumbuhan persatuan luas pada hutan hujan tropis sehingga memberi kesan produktivitas yang sangat tinggi dan lahan yang sangat subur.

Muara dan terumbu karang juga memiliki produktivitas yang sangat tinggi, akan tetapi sumbangan total mereka terhadap produktivitas global relative kecil karena areal ekosistem yang tidak begitu luas di Bumi. Lautan terbuka menyumbangkan lebih banyak produktivitas primer dibandingkan dengan ekosistem lain, akan tetapi hal ini disebabkan oleh ukurannya yang sangat besar sedangkan produktivitas persatuan luasnya relative rendah. Gurun dan tundra juga memiliki produktivitas yang rendah.

Tabel 1.  Produktivitas Primer Biosfer

No
           

Tipe Ekosistem
           

Bahan Kering (g/m2/tahun)

1
            Hutan Hujan Tropis    

1000 – 3500

2
            Hutan Musim Tropis  

1000 – 2500

3
            Hutan  Iklim Sedang:-          Selalu Hijau

-          Luruh
           



600 – 2500

600 – 2500

4
            Hutan Boreal  

400 – 2000

5
            Savana           

200 – 2000

6
            Padang Rumput Iklim Sedang          

200 – 1500

7
            Tundra dan Alvin        

10 – 400

8
            Gurun dan Semak Gurun      

10 – 250

Sumber : Whittaker & Likens (1975) dalam Wiharto (2007)

Berdasarkan data tabel 1 di atas, hutan hujan tropis memiliki produktivitas primer 1000 – 3500 g/m2/tahun dan hanya berbeda rentang dengan hutan musim tropis yakni 1000-2500 g/m2/tahun. Produktivitas primer ekosistem terendah dimiliki oleh tipe ekosistem gurun dan semak gurun yakni 10–250 g/m2/tahun yang juga berbeda rentang dengan ekosistem tundra dan Alvin yakni 10 – 400 g/m2/tahun. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa produktivitas primer ekosistem hutan hujan tropis paling tinggi dibandingkan dengan produktivitas ekosistem hutan musim tropis, hutan iklim sedang, hutan boreal, savanna, padang rumput iklim sedang, tundra dan Alvin, serta gurun dan semak.

2.5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produktivitas

Menurut Jordan (1985) dalam Wiharto (2007), Jika produktivitas suatu ekosistem hanya berubah sedikit dalam jangka waktu yang lama maka hal itu menandakan kondisi lingkungan yang stabil, tetapi jika perubahan yang dramatis maka menunjukkan telah terjadi perubahan lingkungan yang nyata atau terjadi perubahan yang penting dalam interaksi di antara organisme penyusun eksosistem. Menurut Campbell (2002), terjadinya perbedaan produktivitas pada berbagai ekosistem dalam biosfer disebabkan oleh adanya faktor pembatas dalam setiap ekosistem. Faktor yang paling penting dalam pembatasan produktivitas bergantung pada jenis ekosistem dan perubahan musim dalam lingkungan.

Produktivitas pada ekosistem dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:

Suhu

Berdasarkan gradasi suhu rata-rata tahunan, maka produktivitas akan meningkat dari wilayah kutub ke ekuator. Namun pada hutan hujan tropis, suhu bukanlah menjadi faktor dominan yang menentukan produktivitas, tapi lamanya musim tumbuh. Adanya suhu yang tinggi dan konstan hampir sepanjang tahun dapat bermakna musim tumbuh bagi tumbuhan akan berlangsung lama, yang pada gilirannya meningkatkan produktivitas.

Suhu secara langsung ataupun tidak langsung berpengaruh pada produktivitas. Secara langsung suhu berperan dalam mengontrol reaksi enzimatik dalam proses fotosintetis, sehingga tingginya suhu dapat meningkatkan laju maksimum fotosintesis. Sedangkan secara tidak langsung, misalnya suhu berperan dalam membentuk stratifikasi kolom perairan yang akibatnya dapat mempengaruhi distribusi vertikal fitoplankton.

Cahaya

Cahaya merupakan sumber energy primer bagi ekosistem. Cahaya memiliki peran yang sangat vital dalam produktivitas primer, oleh karena hanya dengan energy cahaya tumbuhan dan fitoplankton dapat menggerakkan mesin fotosintesis dalam tubuhnya. Hal ini berarti bahwa wilayah yang menerima lebih banyak dan lebih lama penyinaran cahaya matahari tahunan akan memiliki kesempatan berfotosintesis yang lebih panjang sehingga mendukung peningkatan produktivitas primer.

Pada ekosistem terrestrial seperti hutan hujan tropis memilik produktivitas primer yang paling tinggi karena wilayah hutan hujan tropis menerima lebih banyak sinar matahari tahunan yang tersedia bagi fotosintesis dibanding dengan iklim sedang (Wiharto, 2007). Sedangkan pada eksosistem perairan, laju pertumbuhan fitoplankton sangat tergantung pada ketersediaan cahaya dalam perairan. Laju pertumbuhan maksimum fitoplankton akan mengalami penurunan jika perairan berada pada kondisi ketersediaan cahaya yang rendah.

Air, curah hujan dan kelembaban

Produktivitas pada ekosistem terrestrial berkorelasi dengan ketersediaan air. Air merupakan bahan dasar dalam proses fotosintesis, sehingga ketersediaan air merupakan faktor pembatas terhadap aktivitas fotosintetik.  Secara kimiwi air berperan sebagai pelarut universal, keberadaan air memungkinkan membawa serta nutrient yang dibutuhkan oleh tumbuhan.

Air memiliki siklus dalam ekosistem. Keberadaan air dalam ekosistem dalam bentuk air tanah, air sungai/perairan, dan air di atmosfer dalam bentuk uap. Uap di atmosfer dapat mengalami kondensasi lalu jatuh sebagai air hujan. Interaksi antara suhu dan air hujan yang banyak yang berlangsung sepanjang tahun menghasilkan kondisi kelembaban yang sangat ideal tumbuhan terutama pada hutan hujan tropis untuk meningkatkan produktivitas.

Menurut Jordan (1995) dalam Wiharto (2007), tingginya kelembaban pada gilirannya akan meningkatkan produktivitas mikroorganisme. Selain itu, proses lain yang sangat dipengaruhi proses ini adalah pelapukan tanah yang berlangsung cepat yang menyebabkan lepasnya unsure hara yang dibutuhkan oleh tumbuhan. Terjadinya petir dan badai selama hujan menyebabkan banyaknya nitrogen yang terfiksasi di udara, dan turun ke bumi bersama air hujan.

Namun demikian, air yang jatuh sebagai hujan  akan menyebabkan tanah-tanah yang tidak tertutupi vegetasi rentan mengalami pencucian yang akan mengurangi kesuburan tanah. Pencucian adalah penyebab utama hilangnya zat hara dalam ekosistem.

Nutrien

Tumbuhan membutuhkan berbagai ragam nutrient anorganik, beberapa dalam jumlah yang relatif besar dan yang lainnya dalam jumlah sedikit, akan tetapi semuanya penting. Pada beberapa ekosistem terrestrial, nutrient organic merupakan faktor pembatas yang penting bagi produktivitas. Produktivitas dapat menurun bahkan berhenti jika suatu nutrient spesifik atau nutrient tunggal tidak lagi terdapat dalam jumlah yang mencukupi. Nutrient spesifik yang demikian disebut nutrient pembatas (limiting nutrient). Pada banyak ekosistem nitrogen dan fosfor merupakan nutrient pembatas utama, beberapa bukti juga menyatakan bahwa CO2 kadang-kadang membatasi produktivitas.

Produktivitas di laut umumnya terdapat paling besar diperairan dangkal dekat benua dan disepanjang terumbu karang, di mana cahaya dan nutrient melimpah. Produktivitas primer persatuan luas laut terbuka relative rendah karena nutrient anorganic khusunya nitrogen dan fosfor terbatas ketersediaannya dipermukaan. Di tempat yang dalam di mana nutrient melimpah, namun cahaya tidak mencukupi untuk fotosintesis. Sehingga fitoplankton, berada pada kondisi paling produktif ketika arus yang naik ke atas membawa nitrogen dan fosfor kepermukaan.

Tanah

Potensi ketersedian hidrogen yang tinggi pada tanah-tanah tropis disebabkan oleh diproduksinya asam organik secara kontinu melalui respirasi yang dilangsungkan oleh mikroorganisme tanah dan akar (respirasi tanah). Jika tanah dalam keadaan basah, maka karbon dioksida (CO2) dari respirasi tanah beserta air (H2O) akan membentuk asam karbonat (H2CO3 ) yang kemudian akan mengalami disosiasi menjadi bikarbonat (HCO3-) dan sebuah ion hidrogen bermuatan positif (H+). Ion hidrogen selanjutnya dapat menggantikan kation hara yang ada pada koloid tanah, kemudian bikarbonat bereaksi dengan kation yang dilepaskan oleh koloid, dan hasil reaksi ini dapat tercuci ke bawah melalui profil tanah (Wiharto, 2007).

Hidrogen yang dibebaskan ke tanah sebagai hasil aktivitas biologi, akan bereaksi dengan liat silikat dan membebaskan aluminium. Karena aluminium merupakan unsur yang terdapat dimana-mana di daerah hutan hujan tropis, maka alminiumlah yang lebih dominan berasosiasi dengan tanah asam di daerah ini. Sulfat juga dapat menjadi sumber pembentuk asam di tanah. Sulfat ini dapat masuk ke ekosistem melalui hujan maupun jatuhan kering, juga melalui aktivitas organisme mikro yang melepaskan senyawa gas sulfur. Asam organik juga dapat dilepaskan dari aktivitas penguraian serasah (Jordan, 1985 dalam Wiharto, 2007 ).

 Herbivora

Menurut Barbour at al. (1987) dalam Wiharto (2007), sekitar 10 % dari produktivitas vegetasi darat dunia dikonsumsi oleh herbivora biofag. Persentase ini bervariasi menurut tipe ekosistem darat. Namun demikian, menurut McNaughton dan Wolf (1998) bahwa akibat yang ditimbulkan oleh herbivore pada produktivitas primer sangat sedikit sekali diketahui. Bahkan hubunga antar herbivore dan produktivitas primer bersih kemungkinan bersifat kompleks, di mana konsumsi sering menstimulasi produktivitas tumbuhan sehingga meningkat mencapai tingkat tertentu yang kemudian dapat menurun jika intensitasnya optimum.

Jordan (1985) dalam Wiharto (2007) menyatakan, bahwa walaupun defoliasi pada individu pohon secara menyeluruh sering sekali terjadi, hal ini disebabkan oleh tingginya keanekaragaman di daerah hutan hujan tropis. Selain itu, banyak pohon mengembangkan alat pelindung terhadap herbivora melalui produksi bahan kimia tertentu yang jika dikonsumsi oleh herbivora memberi efek yang kurang baik bagi herbivora.

III. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

    * Sumber energy pokok dalam ekosistem adalah pengubahan radiasi energy matahari menjadi energy kimia oleh produsen.
    * Produktivitas primer bersih ekosistem dapat dijabarkan sebagai berikut:

 NPP =  GPP – Rs

Di mana NPP adalah net primary productivity, GPP adalah gorss primary productivity, dan Rs adalah laju Respirasi.

    * Produktivitas primer bersih dipengaruhi oleh faktor pembatas yang meliputi cahaya, suhu, air, curah hujan, kelembaban, nutrient, tanah dan herbivore.