Setiawan Mangando

Kamis, 24 November 2011

ARTIKEL PLANKTON

ARTIKEL I
Identifikasi Produktivitas Primer berdasarkan Model Ekosistem Dinamik di Perairan Paparan Sunda

Ekosistem pesisir dan laut merupakan ekosistem yang produktif, unik dan mempunyai nilai ekologi dan ekonomi yang tinggi. Selain menghasilkan bahan dasar untuk pemenuhan kebutuhan pangan, keperluan rumah tangga dan industri yang dalam konteks ekonomi bernilai komersial tinggi, ekosistem pesisir dan laut juga memiliki fungsi-fungsi ekologis penting, antara lain sebagai penyedia nutrien, tempat berkembang biak dan tumbuhnya hewan-hewan laut, serta tempat mencari makan bagi beragam biota laut. Semakin tinggi fungsi ekologisnya, yang berarti semakin subur perairan, akan semakin tinggi produktivitas primernya dan makin tinggi pula nilai ekonominya.
Produktivitas primer adalah laju pembentukan senyawa-senyawa organik yang kaya energi dari senyawa-senyawa anorganik (Nybakken,1992). Jumlah seluruh bahan organik yang terbentuk dalam proses produktivitas primer disebut produksi primer kotor (gross primary production), atau produksi total, sedangkan hasil produksi sisa respirasi tumbuhan disebut sebagai produksi primer bersih (net primary production). Produktivitas dinyatakan dalam jumlah gram karbon per m2 per hari (g/m2/hari) atau per tahun (g/m2/tahun). Faktor-faktor pembentukan produktivitas primer merupakan proses gabungan antara dinamika perairan dan proses fisis yang terjadi di perairan, reaksi kimia dari kegiatan biota laut seperti fotosintesis dan respirasi, serta interaksi laut-udara yang memungkinkan adanya penyerapan CO2 dan energi dari atmosfer.
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya produktivitas primer adalah cahaya, konsentrasi nutrien, temperatur, dan dinamika oseanografi seperti pasang surut, turbulensi, upwelling, arus, dan front. Daerah upwelling merupakan salah satu lokasi yang memiliki produktivitas primer tinggi, dimana unsur hara dari bawah permukaan akan terbawa naik oleh arus ke permukaan. Oleh karena itu penentuan daerah upwelling diharapkan dapat memberikan informasi lebih untuk memanfaatkan sumberdaya laut secara lebih optimal. Kejadian upwelling yang periodik di Samudra Hindia (Susanto, et al., 2001), selatan Sulawesi dan Selat Malaka diperkirakan akan sangat mempengaruhi siklus biogeokimia di Laut Jawa. Demikian juga halnya dengan dinamika arus dan transpor massa air di sekitar Laut Jawa (Irwandi et al., 2002; Putri, 2002, 2005), serta anomali suhu muka laut ketika terjadi ENSO (El Nino Southern Oscillation) dan IOD (Indian Ocean Dipole).
Hasil penelitian tahun pertama yang telah diperoleh berdasarkan pengolahan data citra satelit antara lain bahwa dinamika laut dan perairan dekat pantai secara umum dapat mempengaruhi kondisi produktivitas primer di perairan Paparan Sunda. Sungai-sungai yang bermuara ke Laut Jawa (Putri, 2009c), terutama sepanjang pantai selatan Kalimantan, membawa nutrien lebih banyak dan menyebabkan produktivitas primer meningkat dengan area yang lebih luas pada musim penghujan (monsun barat laut) dibandingkan pada musim kemarau (monsun tenggara). Di perairan Selat Malaka produktivitas primer meningkat pada monsun barat laut hingga 2500 mgC/m2/hari, dibanding monsun tenggara (1500 mgC/m2/hari), terutama di sepanjang pantai timur Sumatra. Sebaliknya di daerah dekat pantai Sulawesi Selatan pada monsun tenggara produktivitas primer meningkat hingga 2000 mgC/m2/hari dibandingkan dengan monsun barat laut (500 mgC/m2/hari). Hasil lain menunjukkan bahwa dinamika perairan Selat Malaka menunjukkan adanya pengaruh dari Laut Andaman di bagian barat laut dan Laut Cina Selatan di bagian tenggara. Temperatur perairan ini menghangat pada bulan Maret dan kembali dingin pada bulan November. Air dengan salinitas tinggi dari Laut Andaman pada bulan April masuk ke perairan ini pada kedalaman 50 m menyusur pantai timur Sumatera (Putri, 2009b). Di Selat Karimata air laut dengan temperatur dingin dan salinitas rendah berasal dari pengaruh Laut Jawa dan Laut Cina Selatan pada periode Desember-Januari-Februari (DJF) dan Juni-Juli-Agustus (JJA). Simulasi model biologis menunjukkan kecepatan vertikal di perairan Selat Malaka menjadi salah satu faktor penting terjadinya pengangkatan nutrien dari lapisan bawah karena lapisan percampuran yang dangkal. Konsentrasi nitrat dan silikat permukaan 0,39 molN/l dan 3 molSi/l dan memiliki kesesuaian dengan hasil pengamatan yang berkisar antara 0,11 – 3,20 molN/l untuk nitrat dan 3,25 – 12,5 molSi/l untuk silikat. Di perairan Karimata dan Laut Jawa pengaruh pengangkatan oleh proses vertikal melemah karena lapisan percampuran yang dalam, sehingga proses remineralisasi dan regenerasi nutrien menjadi rendah. Konsentrasi nitrat pada kisaran 0,1 – 0,3 molN/l sedangkan silikat bernilai 4 – 10 molSi/l (Putri,2008).
Model hidrodinamika dan ekosistem laut 3-D akan digunakan dalam penelitian tahun kedua ini. Model baroklinik hidrodinamika 3-D yang akan digunakan adalah HAMburg Shelf Ocean Model (HAMSOM) yang telah diterapkan di berbagai perairan laut dunia (Backhaus, 1985; Pohlmann, 1996; Putri, 2005). Dari hasil model hidrodinamika ini akan diperoleh informasi dinamika oseanografi di Laut Jawa dan perairan sekitarnya yang akan digunakan sebagai masukan dalam model ekosistem. Selanjutnya model ekosistem akan disimulasikan untuk memperoleh peta distribusi dan variabilitas produktivitas primer dan kesuburannya. Tujuan keseluruhan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi sebaran dan variabilitas produktivitas primer di perairan Laut Jawa dan sekitarnya seperti Selat Malaka, Selat Karimata, Selat Makasar, Laut Flores, serta selat-selat sempit yang menghubungkan Laut Jawa dan Samudra Hindia di bagian selatan.



ARTIKEL 2
HUBUNGAN ANTARA FAKTOR OSEANOGARFI DAN PRODUKTIVITAS PRIMER PERAIRAN INDONESIA

Perairan Indonesia yang merupakan bagian dari laut tropik dicirikan oleh cukup tersedia cahaya matahari namun memiliki konsentrasi nutrien rendah. Keadaan ini mengakibatkan produktivitasnya sangat rendah.  Seperti halnya produktivitas yang rendah bila dibandingkan dengan lingkungan laut lainnya, misalnya dengan laut tropik, laut lepas merupakan bagian dari badan perairan bahari yang memiliki laju produktivitas rendah.  Menurut Valiela (1984), laut terbuka yang luasnya 90 % dari laut dunia memiliki laju perairan pantai, dimana produktivitasnya melebihi 60 % dari produktivitas yang ada di laut.

Skema pendekatan masalah untuk melihat pengaruh faktor oseanografi terhadap produktivitas primer perairan Indonesia.

Laju produksi primer di lingkungan laut ditentukan oleh berbagai faktor fisika antara lain:

1.        Upwelling

Tingginya produktivitas di laut terbuka yang mengalami upwelling disebabkan karena adanya pengkayaan nutrien pada lapisan permukaan tercampur yang dihasilkan melalui proses pengangkatan massa air dalam. Seperti yang dikemukakan oleh Cullen et al. (1992) bahwa konsentrasi klorofil-a dan laju produktivitas primer meningkat di sekitar ekuator, dimana terjadi aliran nutrien secara vertikal akibat adanya upwelling di daerah divergensi ekuator.

Beberapa daerah-daerah perairan Indonesia yang mengalami upwelling akibat pengaruh pola angin muson adalah Laut Banda, dan Laut Arafura (Wyrtki, 1961 dan Schalk, 1987), Selatan Jawa  dan  Bali ( Hendiarti dkk, 1995 dan Bakti, 1998), dan Laut Timor (Tubalawony, 2000).

Dari pengamatan sebaran konsentrasi klorofil-a di Laut Banda dan Laut Aru diperoleh bahwa konsentrasi klorofil-a tertinggi dijumpai pada Musim Timur, dimana pada saat tersebut terjadi upwelling di Laut Banda, sedangkan klorofil-a terendah dijumpai pada Musim Barat.  Pada saat ini di Laut Banda tidak terjadi upwelling dalam skala yang besar sehingga nilai konsentrasi nutrien di perairan lebih kecil.  Di perairan Banda (Vosjan and Nieuwland, 1987) pada Musim Timur terdapat 2 (dua) periode “bloom” fitoplankton, pertama pada bulan Juni dan kedua di bulan Agustus/September.  Selanjutnya Nontji (1975), dari hasil studi distribusi klorofil-a di Laut Banda pada fase akhir di bulan September diperoleh bahwa konsentrasi klorofil tertinggi di bagian timur Laut Banda, khususnya di sekitar Pulau Kei dan Tanimbar. Juga dikatakan bahwa 60% dari klorofil-a tersebut berada pada kedalaman 25 m. Hendiarti dkk. (1995) mendapatkan bahwa pada Musim Timur di perairan selatan Pulau Jawa-Bali dimana terjadi upwelling, rata-rata konsentrasi klorofil-a sebesar 0,39 mm/l dan pada Musim Barat sekitar 0,18 mm/l.

2.  Percampuran Vertikal Massa Air

Percampuran vertikal massa air sangat berperan di dalam menyuburkan kolom perairan yaitu dengan cara mengangkat nutrien dari lapisan dalam ke lapisan permukaan. Dengan meningkatnya nutrien pada lapisan permukaan dan dibantu dengan penetrasi cahaya matahari yang cukup di dalam kolom perairan dapat meningkatkan laju produktivitas primer melalui aktivitas fotosintesa fitoplankton. Chaves and Barber (1987) mengatakan bahwa masukan nutrien terutama untuk mengoptimalkan konsentrasi NO3 pada lapisan permukaan dan secara relatif meningkatkan produksi baru.

Percampuran massa air secara vertikal dipengaruhi oleh tiupan angin.  Pada saat Musim Timur di perairan Indonesia bertiup angin Muson Tenggara yang mengakibatkan sebagian besar perairan Indonesia Timur mengalami pergolakan yang mengakibatkan terjadinya percampuran massa air secara vertikal.  Tubalawony (2000) berdasarkan data ekspedisi Baruna Jaya pada musim timur tahun 1991 mendapatkan adanya percampuran vertikal massa air di  perairan lepas pantai Laut Timor yang umumnya lebih dangkal.  Akibatnya kandungan klorofil-a di dalam kolom perairan  umumnya lebih tinggi bila dibandingkan dengan bagian lain dari perairan Laut Timor.

3.      Percampuran Massa Air secara Horisontal

Sistem angin muson dan arlindo juga mempengaruhi pola sirkulasi massa air di Perairan Indonesia.  Sistem ini mengakibatkan terjadinya percampuran antara dua massa air yang berbeda di suatu perairan.  Misalnya pada saat Musim Timur, massa air dari Lautan Pasifik akan bertemu dengan massa air Laut Banda yang mengalami upwelling atau pada saat bertiup angin muson tenggara terjadi penyebaran massa air perairan Indonesia Timur ke perairan Indonesia bagian barat dan sebaliknya terjadi pada saat bertiup angin muson barat laut. Dengan demikian sirkulasi massa air dan percampuran massa air akan mempengaruhi produktivitas primer suatu perairan.  Tingginya produktivitas suatu perairan akan berhubungan dengan daerah asal dimana massa air di peroleh.  Nontji (1974) dalam Monk et al. (1997) mengatakan bahwa rata-rata konsentrasi klorofil-a di perairan Indonesia kira-kira 0,19 mg/m3 dan 0,16 mg/m3 selama Musim Barat, dan 0,21 mg/m3 selama Musim Timur.

Selain beberapa faktor fisik di atas, keberadaan lapisan termoklin sangat mendukung tingginya laju produktivitas produksi primer. Bagian bawah dari lapisan tercampur atau bagian atas dari lapisan termoklin merupakan daerah yang memiliki konsentrasi nutrien yang cukup tinggi sehingga dapat merangsang meningkatnya produktivitas primer.  Lapisan termoklin yang dangkal lebih berperan dalam menunjang produktivitas perairan.  Karena pada saat terjadinya proses percampuran vertikal, nutrien pada lapisan termoklin lebih mudah mencapai lapisan permukaan tercampur jika dibandingkan dengan lapisan termoklin yang lebih dalam.  Beberapa penelitian tentang produktivitas primer dalam kaitannya dengan keberadaan massa air menyimpulkan bahwa kedalaman dimana konsentrasi klorofil-a maksimum adalah pada bagian batas atas lapisan termoklin.  Matsuura et al. (1997) dari hasil pengamatannya di timur laut Lautan Hindia mendapatkan bahwa konsentrasi klorofil-a pada lapisan permukaan tercampur sangat sedikit dan mulai meningkat menuju bagian bawah dari lapisan permukaan tercampur dengan konsentrasi maksimum terdapat pada kedalaman kira-kira 75 – 100 m. Sedangkan Hendiarti dkk. (1995) mengatakan bahwa konsentrasi maksimum klorofil-a di perairan selatan Pulau Jawa – Bali berada pada kedalaman 20 m pada Musim Timur dan 80 m pada Musim Barat. Umumnya kedalaman tersebut merupakan batas atas lapisan termoklin.


ARTIKEL 3
FAKTOR UTAMA YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS PRIMER DI LAUT

Cahaya

Cahaya merupakan salah satu faktor yang menentukan distribusi klorofil-a di laut. Di laut lepas, pada lapisan permukaan tercampur tersedia cukup banyak cahaya matahari untuk proses fotosintesa.  Sedangkan di lapisan yang lebih dalam, cahaya matahari tersedia dalam jumlah yang sedikit bahkan tidak ada sama sekali. Ini memungkinkan klorofil-a lebih banyak terdapat pada bagian bawah lapisan permukaan tercampur atau pada bagian atas dari permukaan lapisan termoklin jika dibandingkan dengan bagian pertengahan atau bawah lapisan termoklin.  Hal ini juga dikemukakan oleh Matsuura et al. (1997) berdasarkan hasil pengamatan di timur laut Lautan Hindia, dimana diperoleh bahwa sebaran konsentrasi klorofil-a pada bagian atas lapisan permukaan tercampur sangat sedikit dan mulai meningkat menuju bagian bawah dari lapisan permukaan tercampur dan menurun secara drastis pada lapisan termoklin hingga tidak ada klorofil-a lagi pada lapisan di bawah lapisan termoklin.

Fotosintesa fitoplankton menggunakan klorofil-a, c, dan satu jenis pigmen tambahan seperti protein-fucoxanthin dan peridinin, yang secara lengkap menggunakan semua cahaya dalam spektrum tampak.  Pada panjang gelombang 400 – 700 nm, cahaya yang diabsorbsi oleh pigmen fitoplankton dapat dibagi dalam: cahaya dengan panjang gelombang lebih dari 600 nm, terutama diabsorbsi oleh klorofil dan cahaya dengan panjang gelombang kurang dari 600 nm, terutama diabsorbsi oleh pigmen-pigmen pelengkap/tambahan (Levinton, 1982).

Dengan adanya perbedaan kandungan pigmen pada setiap jenis plankton, maka jumlah cahaya matahari yang diabsorbsi oleh setiap plankton akan berbeda pula.  Keadaan ini berpengaruh terhadap tingkat efisiensi fotosintesa. Fujita (1970) dalam Parsons et al. (1984) mengklasifikasi alga laut berdasarkan efisiensi fotosintesa oleh pigmen kedalam tipe klorofil-a dan b untuk alga hijau dan euglenoid; tipe klorofil-a, c, dan caratenoid untuk diatom, dinoflagelata, dan alga coklat; dan tipe klorofil-a dan ficobilin untuk alga merah dan alga hijau biru.

Nutrien

Nutrien adalah semua unsur dan senjawa yang dibutuhkan oleh tumbuhan-tumbuhan dan berada dalam bentuk material organik (misalnya amonia, nitrat) dan anorganik terlarut (asam amino). Elemen-elemen nutrien utama yang dibutuhkan dalam jumlah besar adalah karbon, nitrogen, fosfor, oksigen, silikon, magnesium, potassium, dan kalsium, sedangkan nutrien trace element dibutuhkan dalam konsentrasi sangat kecil, yakni besi, copper, dam vanadium (Levinton, 1982). Menurut Parsons et al. (1984), alga membutuhkan elemen nutrien untuk pertumbuhan.  Beberapa elemen seperti C, H, O, N, Si, P, Mg, K, dan Ca dibutuhkan dalam jumlah besar dan disebut makronutrien, sedangkan elemen-elemen lain dibutuhkan dalam jumlah sangat sedikit dan biasanya disebut mikronutrien atau trace element.

Sebaran klorofil-a di dalam kolom perairan sangat tergantung pada konsentrasi nutrien.  Konsentrasi nutrien di lapisan permukaan sangat sedikit dan akan meningkat pada lapisan termoklin dan lapisan di bawahnya.  Hal mana juga dikemukakan oleh Brown et al. (1989), nutrien memiliki konsentrasi rendah dan berubah-ubah pada permukaan laut dan konsentrasinya akan meningkat dengan bertambahnya kedalaman serta akan mencapai konsentrsi maksimum pada kedalaman antara 500 – 1500 m.

Suhu

Suhu dapat mempengaruhi fotosintesa di laut baik secara langsung maupun tidak langsung.  Pengaruh secara langsung yakni suhu berperan untuk mengontrol reaksi kimia enzimatik dalam proses fotosintesa.  Tinggi suhu dapat menaikkan laju maksimum fotosintesa (Pmax), sedangkan pengaruh secara tidak langsung yakni dalam merubah struktur hidrologi kolom perairan yang dapat mempengaruhi distribusi fitoplankton (Tomascik et al., 1997 b).

Secara umum, laju fotosintesa fitoplankton meningkat dengan meningkatnya suhu perairan, tetapi akan menurun secara drastis setelah mencapai suatu titik suhu tertentu. Hal ini disebabkan karena setiap spesies fitoplankton selalu berdaptasi terhadap suatu kisaran suhu tertentu.



ARTIKEL 4
Pengaruh Perubahan Iklim Global Terhadap Produktivitas Primer dan Kehidupan di Laut

Monday, September 13, 2010 12:50:29 PM

Pengaruh Global Warming terhadap Kehidupan di Laut
Laut merupakan ekosistem dan habitat terbesar bagi berbagai jenis mahluk hidup di bumi. Lebih dari 70% bagian bumi dikelilingi oleh lautan, sehingga terdapat asumsi bahwa kehidupan di bumi bermula dari laut. Laut memiliki peranan penting dalam kehidupan sehari-hari, salah satunya yaitu sebagai reservoir atau penampung panas radiasi sinar matahari ke bumi, karena fungsinya ini sehingga laut dapat mempertahankan iklim baik secara lokal maupun global.

Isu yang tengah hangat pada abad ke-20 di era industrialisasi yaitu pemanasan global yang timbul akibat aktivitas manusia (antropogenik). Menurut Murdiyarso (2003), pemanasan global adalah fenomena naiknya suhu rata-rata permukaan bumi yang diakibatkan oleh radiasi panas bumi yang lepas ke udara ditahan oleh “selimut gas rumahkaca”. Pada dasarnya atmosfir bumi menangkap radiasi panas sehingga udara bumi bersuhu nyaman bagi kehidupan mahluk hidup, namun revolusi industri telah meningkatkan gas rumahkaca seperti karbon dioksida (CO2), metana (CH4) dan nitous oksida (N2O).

Pemanasan global (global warming) membawa ancaman yang serius terhadap kelestarian seluruh ekosistem yang ada di muka bumi, termasuk terumbu karang. Pada ekosistem terumbu karang pemanasan global tersebut diduga telah menyebabkan lebih sering munculnya pemucatan karang (coral bleaching). Pemucatan karang adalah terputusnya hubungan simbiotik antara zooxanthellae dengan karang yang menjadi inangnya (Brown, 1997 dalam Bachtiar, 2009). Efek pemanasan global akan terus berlangsung sehingga karang diduga akan lebih sering mengalami kerusakan akibat pemanasan global. Dampak pemanasan global pada terumbu karang tidak hanya mengubah lingkungan karang sehingga tidak dapat dihuni, tetapi juga mengubah metabolisme karang sehingga karang lebih rapuh, kehilangan resistansi dan resiliensi.
Suhu permukaan bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 0C (1.33 ± 0.32 0F) selama 100 tahun hingga 2005 (Wikipedia, 2009). Diperkirakan suhu permukaan laut akan terus meningkat hingga 2,5 0C pada 100 tahun mendatang. Peningkatan suhu permukaan laut telah menempatkan karang pada kondisi lingkungan yang sangat kritis. Pada saat ini, suhu lingkungan tempat tumbuhnya karang telah mendekati ambang batas maksimum toleransinya. Kenaikan suhu satu atau dua derajat di atas suhu rata-rata, selama sebulan, dapat menyebabkan karang menderita pemucatan (Goreau and Hayes, 2005 dalam Bachtiar, 2009). Sedangkan menurut Hoegh-Guldberg (1999) dalam Bachtiar (2009), pemucatan karang (coral bleaching) terjadi jika suhu air laut meningkat satu derajat di atas suhu maksimum tahunan. Suhu yang mampu ditoleransi oleh karang di daerah tropis yaitu dibawah 18 0C dengan suhu optimum 26-27 0C (Wikipedia, 2009). Perubahan iklim global akan meningkatkan frekuensi terjadinya pemucatan karang.

Menurut Brown (1997) dalam Bachtiar (2009), faktor-faktor penyebab pemucatan karang meliputi: kenaikan suhu air laut, penurunan suhu air laut, radiasi sinar matahari (termasuk sinar ultraviolet dan PAR), kombinasi antara kenaikan suhu dan radiasi sinar matahari, penurunan salinitas dan infeksi bakteri. Faktor-faktor tersebut membuat karang menjadi stress dan sangat sensitif terhadap gangguan fisik lainnya. Ada tiga mekanisme yang menyebabkan berkurangnya zooxanthellae di dalam jaringan karang. Pemucatan karang dapat terjadi melalui degradasi zooxanthellae in-situ, pengeluaran zooxanthellae secara exocytosis dan pengelupasan jaringan endoderm yang berisi zooxanthellae. Ketiga macam mekanisme tersebut secara berurutan membawa dampak yang semakin buruk, bahkan berujung pada kematian karang secara massal. Pemucatan karang yang terjadi dalam waktu lama akan menyebabkan karang mati kelaparan karena sekitar 70% kebutuhan energi karang berasal dari alga zooxanthellae.

Terumbu karang memegang peranan penting bagi kehidupan organisme di laut, selain bersimbiosis dengan alga zooxanthellae, karang yang sehat merupakan habitat ikan-ikan karang, tepat mencari makan, berkembang biak dan berlindung dari gangguan fisik di laut. Sebab plankton dan alga merupakan produsen primer di laut yang menjadi sumber energi bagi konsumen tingkat trofik di atasnya sehingga keberadaannya sangat penting bagi produktivitas primer di laut.
Produktivitas primer adalah proses memproduksi komponen organik menggunakan karbondioksida dari udara dan perairan, prinsip utamanya yaitu proses fotosintesis dan kemosintesis. Kehidupan di bumi secara langsung maupun tidak langsung bergantung pada produktivitas primer yang dilakukan oleh organisme autotrof yang menjadi dasar rantai makanan (Wikipedia, 2008)

Gangguan terhadap komunitas terumbu karang dan alga zooxanthellae akan memberikan dampak yang besar bagi organisme laut lainnya. Pemanasan global menyebabkan naiknya suhu rata-rata permukaan bumi dan laut, berdampak pada terumbu karang yang bersimbiosis dengan alga zooxanthellae. Akibat perubahan suhu yang tinggi melebihi ambang batasnya sehingga alga zooxanthellae mengalami stress dan meninggalkan karang yang menjadi inangnya kemudian terjadilah ketidakseimbangan, dimana inang karang yang ditinggalkan oleh zooxanthellae akan mengalami pemucatan (coral bleaching) sehingga ekosistem terumbu karang menjadi rusak dan tidak dapat dihuni lagi oleh ikan karang. Organisme yang menjadi konsumen dan berada di tingkat trofik diatasnya akan mengalami kesulitan memperoleh makanan dan habitat karang yang layak dihuni serta aman sehingga organisme ini dapat mati. Secara alamiah, mahluk hidup memiliki insting dan sensor terhadap perubahan lingkungan di sekitarnya. Setiap organisme memiliki batasan toleransi yang berbeda-beda terhadap perubahan fisik lingkungan habitatnya. Peningkatan suhu dari rata-rata pertahun akan menyebabkan stress pada organism tersebut. Organisme yang memiliki batas toleransi yang sempit terhadap suhu akan lebih mudah terkena dampak pemanasan global, dimana naiknya suhu perairan diatas rata-rata pertahun di tempat tinggalnya dapat menyebabkan stress, dampak yang akut akan mengakibat kematian massal species, kemudian species tersebut akan mengalami kepunahan.
Sumber :


ARTIKEL 5
Produktivitas Primer Eksosistem

Posted by Mahmuddin pada September 9, 2009

I. Pendahuluan

Suatu ekosistem dapat terbentuk oleh adanya interaksi antara makhluk dan lingkungannya, baik antara makhluk hidup dengan makhluk hidup lainnya dan antara makhluk hidup dengan lingkungan abiotik (habitat). Interaksi dalam ekosistem didasari adanya hubungan saling membutuhkan antara sesama makhluk hidup dan adanya eksploitasi lingkungan abiotik untuk kebutuhan dasar hidup bagi makhluk hidup. Jika dilihat dari aspek kebutuhannya, sesungguhnya interaksi bagi makhluk hidup umumnya merupakan upaya mendapatkan energy bagi kelangsungan hidupnya yang meliputi pertumbuhan, pemeliharaan, reproduksi dan pergerakan.

Sumber energy primer bagi ekosistem adalah cahaya matahari. Energi cahaya matahari hanya dapat diserap oleh organisme tumbuhan  hijau dan organisme fotosintetik. Energi cahaya digunakan untuk mensintesis molekul anorganik menjadi molekul organik yang kaya energy. Molekul tersebut selanjutnya disimpan dalam bentuk makanan dalam tubuhnya dan menjadi sumber bahan organic bagi organisme lain yang heterotrof. Organisme yang memiliki kemampuan untuk mengikat energy dari lingkungan disebut produsen.

II. Pembahasan

2.1.Produktivitas Primer

Produksi bagi ekosistem merupakan proses pemasukan dan penyimpanan energy dalam ekosistem. Pemasukan energy dalam ekosistem yang dimaksud adalah pemindahan energy cahaya menjadi energy kimia oleh produsen. Sedangkan penyimpanan energy yang dimaksudkan adalah penggunaan energy oleh konsumen dan mikroorganisme. Laju produksi makhluk hidup dalam ekosistem disebut sebagai produktivitas.

Produktivitas primer merupakan laju penambatan energy yang dilakukan oleh produsen.  Menurut Campbell (2002), Produktivitas primer menunjukkan Jumlah energy cahaya yang diubah menjadi energy kimia oleh autotrof suatu ekosistem selama suatu periode waktu tertentu. Total produktivitas primer dikenal sebagai produktivitas primer kotor (gross primary productivity, GPP). Tidak semua hasil produktivitas ini disimpan sebagai bahan organik pada tubuh organisme produsen atau pada tumbuhan yang sedang tumbuh, karena organisme tersebut menggunakan sebagian molekul tersebut sebagai bahan bakar organic dalam respirasinya. Dengan demikian, Produktivitas primer bersih (net primary productivity, NPP) sama dengan produktivitas primer kotor dikurangi energy yang digunakan oleh produsen untuk respirasi (Rs):

NPP = GPP – Rs

Dalam sebuah ekosistem, produktivitas primer menunjukkan simpanan energy kimia yang tersedia bagi konsumen. Pada sebagian besar produsen primer, produktivitas primer bersih dapat mencapai 50% – 90% dari produktivitas primer kotor. Menurut Campbell et al (2002), Rasio NPP terhadap GPP umumnya lebih kecil bagi produsen besar dengan struktur nonfotosintetik yang rumit, seperti pohon yang mendukung sistem batang dan akar yang besar dan secara metabolik aktif.

Produktivitas primer dapat dinyatakan dalam energy persatuan luas persatuan waktu (J/m2/tahun), atau sebagai biomassa (berat kering organik) vegetasi yang ditambahkan ke ekosistem persatuan luasan per satuan waktu (g/m2/tahun). Namun demikian, produktivitas primer suatu ekosistem hendaknya tidak dikelirukan dengan total biomassa dari autotrof fotosintetik yang terdapat pada suatu waktu tertentu, yang disebut biomassa tanaman tegakan (standing crop biomass). Produktivitas primer menunjukkan laju di mana organisme-organisme mensintesis biomassa baru. Meskipun sebuah hutan memiliki biomassa tanaman tegakan yang sangat besar, produktivitas primernya mungkin sesungguhnya kurang dari produktivitas primer beberapa padang rumput yang tidak mengakumulasi vegetasi (Campbell et al., 2002).

2.2. Estimasi Fotosintesis

Estimasi potensi produktivitas primer maksimum dapat diperoleh dari efisiensi potensial fotosintetis. Energi cahaya yang dipancarkan matahari ke bumi ± 7.000 kkal/m2/hari pada musim panas atau daerah tropis dalam keadaan tidak mendung. Dari jumlah tersebut, sebanyak ± 2.735 kkal dapat dimanfaatkan secara potensial untuk fotosintetis bagi tumbuhan. Sekitar 70% energy yang tersedia berperan dalam perantara pembentukan pemindahan energy secara fotokhemis ke fotosintesis. Dari total energy tersebut, hanya sekitar 28% diabsorbsi ke dalam bentuk yang menjadi bagian dari pemasukan energy ke dalam ekosistem. Prinsipnya dibutuhkan minimum 8 Einstein (mol quanta) cahaya untuk menggerakkan 1 mol karbohidrat.

Secara teoritis produktivitas primer bruto ekosistem dapat dihasilkan 635 kkal/m2/hari dan sebanyak 165 g/m2/hari berubah ke massa bahan organik. Untuk keperluan respirasi harian, tumbuhan menggunakan ± 25% dari produk organik. Dengan demikian produksi netto yang diperoleh ekosistem ± 124 g/m2/hari. Estimasi hasil itu dapat diperoleh jika cahaya maksimal, efisiensi maksimal dalam perubahan cahaya menjadi karbohidrat dan respirasi minimum. Salah satu bukti catatan produktivitas bersih harian adalah sebesar 54 g/m2/hari pada ekosistem padang rumput tropis dengan radiasi cahaya yang tinggi.

2.3. Pengukuran Produktivitas

Pengukuran produktivitas dapat dilakukan dengan beberapa metode seperti metode biomassa, metode penandaan  dan metode metabolisme. Penelitian produktivitas di Indonesia umumnya menggunakan metode penandaan. Produktivitas yang diperoleh dari hasil pengukuran ini bisa lebih kecil dari produktivitas yang sebenarnya karena tidak memperhitungkan kehilangan seresah, pengaruh grazing hewan-hewan herbivore yang memakan tumbuhan. Beberapa peneliti membagi biomassa atau produktivitas menurut letaknya terhadap substrat yaitu biomassa di atas substrat (meliputi batang, helaian dan pelepah daun) dan biomassa di bawah substrat meliputi akar, dan rhizome (Dedi, 2009).

Tunas-tunas fotosintetik pada tumbuhan merupakan organ penting untuk berproduksi. Namun banyak hasil fotosintesis ditranslokasikan ke bawah tanah, di mana hasil fotosintesis tersebut mendukung pertumbuhan akan dan disimpan. Menurut Mcnaughton dan Wolf (1998), siklus tahunan biomassa tumbuhan di atas dan di bawah tanah mengarah kepada hubungan terbalik. Selama musim pertumbuhan, ketika biomassa di atas tanah meningkat cepat, biomas di bawah tanah umumnya cenderung menurun. Sedangkan pada akhir musim, biomassa di bawah tanah umumnya meningkat kembali karena kelebihan produksi yang dihasilkan tunas-tunas kemudian dipindahkan ke bawah.

2.4. Produktivitas Ekosistem Dunia

Ekosistem yang berbeda sangat bervariasi dalam produktivitasnya. Hutan hujan tropis merupakan salah satu ekosistem terrestrial yang paling produktif. Di samping karena  hutan hujan tropis menutupi sebagian besar bumi dan memiliki keanekaragaman yang sangat tinggi, besarnya volume biomassa tumbuhan persatuan luas pada hutan hujan tropis sehingga memberi kesan produktivitas yang sangat tinggi dan lahan yang sangat subur.

Muara dan terumbu karang juga memiliki produktivitas yang sangat tinggi, akan tetapi sumbangan total mereka terhadap produktivitas global relative kecil karena areal ekosistem yang tidak begitu luas di Bumi. Lautan terbuka menyumbangkan lebih banyak produktivitas primer dibandingkan dengan ekosistem lain, akan tetapi hal ini disebabkan oleh ukurannya yang sangat besar sedangkan produktivitas persatuan luasnya relative rendah. Gurun dan tundra juga memiliki produktivitas yang rendah.

Tabel 1.  Produktivitas Primer Biosfer

No
           

Tipe Ekosistem
           

Bahan Kering (g/m2/tahun)

1
            Hutan Hujan Tropis    

1000 – 3500

2
            Hutan Musim Tropis  

1000 – 2500

3
            Hutan  Iklim Sedang:-          Selalu Hijau

-          Luruh
           



600 – 2500

600 – 2500

4
            Hutan Boreal  

400 – 2000

5
            Savana           

200 – 2000

6
            Padang Rumput Iklim Sedang          

200 – 1500

7
            Tundra dan Alvin        

10 – 400

8
            Gurun dan Semak Gurun      

10 – 250

Sumber : Whittaker & Likens (1975) dalam Wiharto (2007)

Berdasarkan data tabel 1 di atas, hutan hujan tropis memiliki produktivitas primer 1000 – 3500 g/m2/tahun dan hanya berbeda rentang dengan hutan musim tropis yakni 1000-2500 g/m2/tahun. Produktivitas primer ekosistem terendah dimiliki oleh tipe ekosistem gurun dan semak gurun yakni 10–250 g/m2/tahun yang juga berbeda rentang dengan ekosistem tundra dan Alvin yakni 10 – 400 g/m2/tahun. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa produktivitas primer ekosistem hutan hujan tropis paling tinggi dibandingkan dengan produktivitas ekosistem hutan musim tropis, hutan iklim sedang, hutan boreal, savanna, padang rumput iklim sedang, tundra dan Alvin, serta gurun dan semak.

2.5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produktivitas

Menurut Jordan (1985) dalam Wiharto (2007), Jika produktivitas suatu ekosistem hanya berubah sedikit dalam jangka waktu yang lama maka hal itu menandakan kondisi lingkungan yang stabil, tetapi jika perubahan yang dramatis maka menunjukkan telah terjadi perubahan lingkungan yang nyata atau terjadi perubahan yang penting dalam interaksi di antara organisme penyusun eksosistem. Menurut Campbell (2002), terjadinya perbedaan produktivitas pada berbagai ekosistem dalam biosfer disebabkan oleh adanya faktor pembatas dalam setiap ekosistem. Faktor yang paling penting dalam pembatasan produktivitas bergantung pada jenis ekosistem dan perubahan musim dalam lingkungan.

Produktivitas pada ekosistem dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:

Suhu

Berdasarkan gradasi suhu rata-rata tahunan, maka produktivitas akan meningkat dari wilayah kutub ke ekuator. Namun pada hutan hujan tropis, suhu bukanlah menjadi faktor dominan yang menentukan produktivitas, tapi lamanya musim tumbuh. Adanya suhu yang tinggi dan konstan hampir sepanjang tahun dapat bermakna musim tumbuh bagi tumbuhan akan berlangsung lama, yang pada gilirannya meningkatkan produktivitas.

Suhu secara langsung ataupun tidak langsung berpengaruh pada produktivitas. Secara langsung suhu berperan dalam mengontrol reaksi enzimatik dalam proses fotosintetis, sehingga tingginya suhu dapat meningkatkan laju maksimum fotosintesis. Sedangkan secara tidak langsung, misalnya suhu berperan dalam membentuk stratifikasi kolom perairan yang akibatnya dapat mempengaruhi distribusi vertikal fitoplankton.

Cahaya

Cahaya merupakan sumber energy primer bagi ekosistem. Cahaya memiliki peran yang sangat vital dalam produktivitas primer, oleh karena hanya dengan energy cahaya tumbuhan dan fitoplankton dapat menggerakkan mesin fotosintesis dalam tubuhnya. Hal ini berarti bahwa wilayah yang menerima lebih banyak dan lebih lama penyinaran cahaya matahari tahunan akan memiliki kesempatan berfotosintesis yang lebih panjang sehingga mendukung peningkatan produktivitas primer.

Pada ekosistem terrestrial seperti hutan hujan tropis memilik produktivitas primer yang paling tinggi karena wilayah hutan hujan tropis menerima lebih banyak sinar matahari tahunan yang tersedia bagi fotosintesis dibanding dengan iklim sedang (Wiharto, 2007). Sedangkan pada eksosistem perairan, laju pertumbuhan fitoplankton sangat tergantung pada ketersediaan cahaya dalam perairan. Laju pertumbuhan maksimum fitoplankton akan mengalami penurunan jika perairan berada pada kondisi ketersediaan cahaya yang rendah.

Air, curah hujan dan kelembaban

Produktivitas pada ekosistem terrestrial berkorelasi dengan ketersediaan air. Air merupakan bahan dasar dalam proses fotosintesis, sehingga ketersediaan air merupakan faktor pembatas terhadap aktivitas fotosintetik.  Secara kimiwi air berperan sebagai pelarut universal, keberadaan air memungkinkan membawa serta nutrient yang dibutuhkan oleh tumbuhan.

Air memiliki siklus dalam ekosistem. Keberadaan air dalam ekosistem dalam bentuk air tanah, air sungai/perairan, dan air di atmosfer dalam bentuk uap. Uap di atmosfer dapat mengalami kondensasi lalu jatuh sebagai air hujan. Interaksi antara suhu dan air hujan yang banyak yang berlangsung sepanjang tahun menghasilkan kondisi kelembaban yang sangat ideal tumbuhan terutama pada hutan hujan tropis untuk meningkatkan produktivitas.

Menurut Jordan (1995) dalam Wiharto (2007), tingginya kelembaban pada gilirannya akan meningkatkan produktivitas mikroorganisme. Selain itu, proses lain yang sangat dipengaruhi proses ini adalah pelapukan tanah yang berlangsung cepat yang menyebabkan lepasnya unsure hara yang dibutuhkan oleh tumbuhan. Terjadinya petir dan badai selama hujan menyebabkan banyaknya nitrogen yang terfiksasi di udara, dan turun ke bumi bersama air hujan.

Namun demikian, air yang jatuh sebagai hujan  akan menyebabkan tanah-tanah yang tidak tertutupi vegetasi rentan mengalami pencucian yang akan mengurangi kesuburan tanah. Pencucian adalah penyebab utama hilangnya zat hara dalam ekosistem.

Nutrien

Tumbuhan membutuhkan berbagai ragam nutrient anorganik, beberapa dalam jumlah yang relatif besar dan yang lainnya dalam jumlah sedikit, akan tetapi semuanya penting. Pada beberapa ekosistem terrestrial, nutrient organic merupakan faktor pembatas yang penting bagi produktivitas. Produktivitas dapat menurun bahkan berhenti jika suatu nutrient spesifik atau nutrient tunggal tidak lagi terdapat dalam jumlah yang mencukupi. Nutrient spesifik yang demikian disebut nutrient pembatas (limiting nutrient). Pada banyak ekosistem nitrogen dan fosfor merupakan nutrient pembatas utama, beberapa bukti juga menyatakan bahwa CO2 kadang-kadang membatasi produktivitas.

Produktivitas di laut umumnya terdapat paling besar diperairan dangkal dekat benua dan disepanjang terumbu karang, di mana cahaya dan nutrient melimpah. Produktivitas primer persatuan luas laut terbuka relative rendah karena nutrient anorganic khusunya nitrogen dan fosfor terbatas ketersediaannya dipermukaan. Di tempat yang dalam di mana nutrient melimpah, namun cahaya tidak mencukupi untuk fotosintesis. Sehingga fitoplankton, berada pada kondisi paling produktif ketika arus yang naik ke atas membawa nitrogen dan fosfor kepermukaan.

Tanah

Potensi ketersedian hidrogen yang tinggi pada tanah-tanah tropis disebabkan oleh diproduksinya asam organik secara kontinu melalui respirasi yang dilangsungkan oleh mikroorganisme tanah dan akar (respirasi tanah). Jika tanah dalam keadaan basah, maka karbon dioksida (CO2) dari respirasi tanah beserta air (H2O) akan membentuk asam karbonat (H2CO3 ) yang kemudian akan mengalami disosiasi menjadi bikarbonat (HCO3-) dan sebuah ion hidrogen bermuatan positif (H+). Ion hidrogen selanjutnya dapat menggantikan kation hara yang ada pada koloid tanah, kemudian bikarbonat bereaksi dengan kation yang dilepaskan oleh koloid, dan hasil reaksi ini dapat tercuci ke bawah melalui profil tanah (Wiharto, 2007).

Hidrogen yang dibebaskan ke tanah sebagai hasil aktivitas biologi, akan bereaksi dengan liat silikat dan membebaskan aluminium. Karena aluminium merupakan unsur yang terdapat dimana-mana di daerah hutan hujan tropis, maka alminiumlah yang lebih dominan berasosiasi dengan tanah asam di daerah ini. Sulfat juga dapat menjadi sumber pembentuk asam di tanah. Sulfat ini dapat masuk ke ekosistem melalui hujan maupun jatuhan kering, juga melalui aktivitas organisme mikro yang melepaskan senyawa gas sulfur. Asam organik juga dapat dilepaskan dari aktivitas penguraian serasah (Jordan, 1985 dalam Wiharto, 2007 ).

 Herbivora

Menurut Barbour at al. (1987) dalam Wiharto (2007), sekitar 10 % dari produktivitas vegetasi darat dunia dikonsumsi oleh herbivora biofag. Persentase ini bervariasi menurut tipe ekosistem darat. Namun demikian, menurut McNaughton dan Wolf (1998) bahwa akibat yang ditimbulkan oleh herbivore pada produktivitas primer sangat sedikit sekali diketahui. Bahkan hubunga antar herbivore dan produktivitas primer bersih kemungkinan bersifat kompleks, di mana konsumsi sering menstimulasi produktivitas tumbuhan sehingga meningkat mencapai tingkat tertentu yang kemudian dapat menurun jika intensitasnya optimum.

Jordan (1985) dalam Wiharto (2007) menyatakan, bahwa walaupun defoliasi pada individu pohon secara menyeluruh sering sekali terjadi, hal ini disebabkan oleh tingginya keanekaragaman di daerah hutan hujan tropis. Selain itu, banyak pohon mengembangkan alat pelindung terhadap herbivora melalui produksi bahan kimia tertentu yang jika dikonsumsi oleh herbivora memberi efek yang kurang baik bagi herbivora.

III. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

    * Sumber energy pokok dalam ekosistem adalah pengubahan radiasi energy matahari menjadi energy kimia oleh produsen.
    * Produktivitas primer bersih ekosistem dapat dijabarkan sebagai berikut:

 NPP =  GPP – Rs

Di mana NPP adalah net primary productivity, GPP adalah gorss primary productivity, dan Rs adalah laju Respirasi.

    * Produktivitas primer bersih dipengaruhi oleh faktor pembatas yang meliputi cahaya, suhu, air, curah hujan, kelembaban, nutrient, tanah dan herbivore.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar